Rabu 06 Jun 2012 11:32 WIB

Mogok Makan, Pesepakbola Palestina Terancam Mati

Rep: Ani Nursalikah/ Red: Yudha Manggala P Putra
Mahmoud Sarsak
Foto: Mondoweiss.net
Mahmoud Sarsak

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM - Mantan pesebakbola tim nasional Palestina Mahmoud Sarsak (25 tahun) hingga kini masih bersikeras menjalankan aksi mogok makan, Rabu (6/5). Aksinya itu ia lakukan sebagai bentuk protes atas penahanannya tanpa tuduhan dan pengadilan oleh Israel.

Sarsak telah menolak mengonsumsi makanan sejak 19 Maret atau 80 hari yang lalu. Ia mulai mogok makan setelah penahanan administratifnya diperpanjang untuk keenam kalinya. Ia ditahan pada Juli 2009 dalam perjalanan dari rumahnya di Gaza untuk kompetisi nasional di Tepi Barat.

Sarsak akan dikunjungi untuk pertama kalinya oleh seorang dokter dari organisasi Israel, Dokter untuk Hak Asasi Manusia (PHR), setelah pengajuan hukum. Seorang juru bicara PHR mengatakan meskipun tubuh Sarsak dipasok cairan dan suplemen, setiap hari dia menghadapi risiko kematian atau kerusakan permanen.

Dinas Penjara Israel mengatakan pemain sepak bola tersebut menjalani mogok makan yang tidak berkelanjutan dan telah menerima perawatan medis.

Keluarga menyangkal Sarsak adalah anggota organisasi militan. "Seluruh keluarga dan teman-teman mengkhawatirkan hidup Mahmoud," kata saudaranya Emad kepada situs berita Ma'an, seperti dikutip The Guardian.

Mogok makan massal yang dilakukan ratusan tahanan Palestina berakhir pada 14 Mei setelah tercapai kesepakatan. Israel setuju untuk mengakhiri pengasingan, memungkinkan adanya kunjungan keluarga dan meningkatkan kondisi tahanan, seperti akses ke televisi dan panggilan telepon.

Namun, pemerintah Israel menolak mengakhiri praktik penahanan administratif. Kesepakatan tersebut dicapai berkat mediasi oleh Mesir dan Yordania.

Langkah itu digunakan untuk menekan aktivitas sah dan damai di wilayah Palestina, menurut laporan Amnesty International yang dipublikasikan Rabu. Laporan tersebut menambahkan, penahanan administratif tidak bisa dipisahkan dari kekerasan, termasuk penyiksaan dan perlakuan buruk selama interogasi dan penahanan.

"Israel menggunakan sistem penahanan administratif untuk menginjak-injak hak asasi tahanan selama puluhan tahun. Langkah itu dimaksudkan mengurangi bahaya ekstrem dan ancaman nyata keamanan," kata Ann Harrison dari Amnesty International.

Laporan berjudul Starved of Justice (Kurangnya Keadilan) menyerukan Israel agar membebaskan semua tahanan yang dikenai penahanan administratif atau menyeret mereka ke pengadilan.

sumber : Guardian, Ma'an
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement