REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA - Lembaga Pengawas Hak Asasi Manusia (HRW) yang berbasis di New York mendesak Bangladesh membuka perbatasannya bagi pengungsi Muslim Rohingya Myanmar, Rabu (13/6).
Dalam pernyataannya, kelompok hak asasi itu juga meminta Bangladesh mengizinkan lembaga kemanusiaan independen memasuki wilayahnya dan dibukanya akses ke wilayah perbatasan.
HRW menyatakan keprihatinannya setelah pada Selasa kemarin, Bangladesh menolak masuk tiga kapal yang membawa seribu Muslim yang mencari perlindungan dari kekerasan sektarian di barat Myanmar. Lebih dari 1.500 pengungsi telah ditolak masuk wilayah Bangladesh sejauh ini.
"Dengan menutup perbatasannya ketika kekerasan berada di luar kendali, Bangladesh telah ikut membahayakan nyawa banyak orang," kata Direktur Program Pengungsi Human Rights Watch Bill Frelick.
Ia menambahkan Bangladesh memiliki kewajiban di bawah hukum internasional untuk tetap membuka perbatasannya bagi orang-orang yang melarikan diri dari ancaman terhadap hidup mereka dan memberi mereka perlindungan. Kelompok tersebut juga mendesak pemerintah lain memberikan bantuan kemanusiaan dan dukungan lainnya untuk para pengungsi.
Sejak Jumat pekan lalu, kekerasan di bagian barat Myanmar antara Budha dan minoritas Muslim Rohingya telah menewaskan sedikitnya 25 orang, lebih dari 41 orang terluka dan ratusan rumah terbakar. Belum ada keterangan berapa Muslim dan Budha yang terluka atau tewas.
Menteri Luar Negeri Dipu Moni mengatakan, dalam sebuah konferensi pers di ibukota Dhaka bahwa Bangladesh tidak memiliki kepentingan menerima pengungsi karena negara miskin tersebut sudah kekurangan sumber daya.
Namun, sejumlah pengungsi berhasil masuk ke wilayah Bangladesh. Dokter dari Chittagong Medical College Hospital Anisur Rahman mengatakan satu pengungsi berusia 50 tahun yang diduga terluka karena tembakan dari pasukan keamanan Myanmar tewas di rumah sakit tersebut. Dua orang Rohingya lainnya dirawat karena luka tembak.
Pada Rabu, surat kabar Daily Star menerbitkan sebuah foto dua perempuan dan empat anak-anak di halaman depan. Mereka akhirnya mencapai Pulau Shah Pori di Teluk Benggala, Selasa, setelah menghabiskan lima hari di laut.
Myanmar menganggap Rohingya sebagai imigran ilegal dari Bangladesh dan menyangkal kewarganegaraan mereka. Bangladesh mengatakan Rohingya telah tinggal di Myanmar selama berabad-abad dan harus diakui sebagai warga negara.
Pada 1990-an, sekitar 250 ribu Muslim Rohingya melarikan diri ke Bangladesh karena menghadapi penganiayaan yang dituduhkan junta militer. Kemudian, Myanmar mengambil kembali sebagian besar mereka dan meninggalkan sekitar 28 ribu lainnya di dua kamp yang dikelola pemerintah dan PBB.
Negosiasi Bangladesh dengan Myanmar selama bertahun-tahun belum berhasil menemukan titik terang untuk mengirim kembali pengungsi yang tersisa. Di sisi lain, puluhan ribu lainnya memasuki Bangladesh secara ilegal dalam beberapa tahun terakhir.
Utusan tinggi PBB Vijay Nambiar telah tiba di Rakhine untuk mengunjungi Maungdaw di mana kekerasan sektarian terjadi, Rabu (13/6). Dia ditemani Menteri Urusan Perbatasan Myanmar Jenderal Thein Htay dan 15 pemimpin agama Muslim dari Yangon.
"Kami di sini untuk mengamati dan menilai bagaimana kita dapat terus memberikan dukungan kepada Rakhine," kata Koordinator Kemanusiaan PBB Ashok Nigam.
Juru Bicara partai oposisi Liga Nasional untuk Demokrasi mengatakan sebelum bertolak ke Eropa, Aung San Suu Kyi telah menginstruksikannya bekerja untuk menolong kedua pihak dengan adil.