REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Putusan Mahkamah Konstitusi membuat rakyat Mesir makin apatis mengikuti pemilihan presiden (pilpres). Mereka menganggap pilpres itu hanya adu kekuatan antara militer dan Ikhwanul Muslimin. Tidak ada niat dari para petinggi Mesir untuk menyerahkan pemerintahan sepenuhnya kepada rakyat.
"Saya menolak untuk menjadi pion dalam permainan dewan militer terhadap Ikhwan (Ikhwanul Muslimin)," kata Masih Said (31 tahun), seorang manajer pemasaran di Kairo, Jumat (15/6). Dia berencana pergi ke tempat pemungutan suara di pilpres putaran kedua menggunakan kaus bertuliskan kata 'void' yang berarti menolak memberi suara.
Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan untuk membubarkan parlemen dan memberi jalan bagi Ahmed Shafiq, mantan perdana menteri era presiden Husni Mubarak, untuk ikut pilpres putaran kedua. Semula, Komisi Pemilu mendiskualifikasi Shafiq dari daftar 13 calon presiden.
Morsy bahkan meraih dukungan signifikan, berada di urutan kedua di bawah calon yang didukung Ikhwanul Muslimin, Mohammed Mursi. Keduanya kembali bersaing memperebutkan suara mayoritas dalam pilpres putaran kedua pada 16 dan 17 Juni ini.
Seorang petugas kebersihan, Ahmed Ali (44), mengaku akan memberi tanda silang di nama semua kandidat di kertas suara pada pilpres putaran kedua. Ali merupakan gambaran rakyat Mesir dalam menghadapi pilpres yang kemungkinan memiliki dua sikap, yakni memboikot pilpres atau merobek surat suara.
"Saya marah. Banyak orang Mesir tewas dalam pemberontakan tahun lalu dan pada akhirnya kita dipaksa untuk memilih antara rezim lama yang korup dan gerakan Islam yang memiliki sendiri. Saya akan robek surat suara saya," kata Ali.
Hal senada disampaikan Mohsen Sehrawy (37), seorang konsultan marketing. Selama transisi dijalankan oleh militer selama ini, tidak ada tanda-tanda keinginan untuk menyerahkan kekuasaan melalui pemilu yang bisa mengusung pemerintahan sipil murni. Itu membuat Sehrawy tak akan memberi suara.
Analis politik, Hassan Nafaa, menilai mayoritas rakyat Mesir tidak menginginkan semua kandidat presiden. Dia memperkirakan, rakyat Mesir akan merusak surat suara dan bahkan tidak datang sama sekali dalam pemungutan suara di pilpres putaran kedua.
Nafaa menambahkan, kaum revolusionaris atau kelompok yang menolak kepemimpinan militer dan kelompok Islam tetap akan meminta perubahan. Tuntutan mereka belum sepenuhnya terpenuhi, sehingga akan terus gelisah.
Kelompok yang melakukan protes terdiri dari dua, yakni mereka yang menyerukan rakyat Mesir untuk tak mendatangi tempat pemungutan suara (TPS) dan mereka yang meminta rakyat Mesir datang ke TPS dan merobek surat suara.
Dalam situsnya, kelompok ini menyebut pemilu sebagai sebuah sandiwara lucu. Mereka mengingatkan, Dewan Militer bisa menunjuk enam juta pegawai di sebuah instansi pemerintah sesuai selera mereka sendiri.