Sabtu 16 Jun 2012 11:02 WIB

Kudeta Kecil Perkeruh Pemilu Mesir

Rep: Lingga Permesti/ Red: Heri Ruslan
Pemilu Presiden Mesir
Pemilu Presiden Mesir

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Situsi politik Mesir kembali kacau pascaputusan Mahkamah Konstitusi Mesir yang membubarkan parlemen hasil pemilu, Kamis (14/6). Putusan ini dipandang Ikhwanul Muslimin dan para aktivis sebagai alat melanggengkan kekuasaan pro-Mubarak.

"Ini kudeta kecil," kata Wakil Presiden Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP), Mohammed el-Beltagy, dalam akun Facebooknya, Jumat (15/6). Partai Kebebasan dan Keadilan adalah perpanjangan tangan Ikhwanul Muslimin.

Kelompok 'Gerakan 6 April' dan 'Sosialis Revolusioner' di Mesir mengajak warga untuk kembali berdemonstrasi di Lapangan Tahrir, mengecam putusan Mahkamah Tinggi Militer itu. Hingga Jumat malam, ribuan warga Mesir tetap memadati lapangan Tahrir.

Ada dua keputusan yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi Mesir. Pertama adalah membubarkan parlemen Mesir hasil pemilu yang didominasi kekuatan Ikhwanul Muslimin. Kedua, parlemen memberi jalan bagi mantan perdana menteri era presiden Husni Mubarak, Ahmed Shafiq, untuk mengikuti pemilihan presiden.

Dampak keputusan yang dibuat oleh para hakim yang dipilih oleh Mubarak, sebelum revolusi Mesir, sangat luar biasa. Pertama, harus ada pemilihan parlemen ulang untuk menggantikan parlemen yang baru terpilih Januari lalu. Kedua, Mesir sementara tanpa konstitusi, karena parlemen yang dibubarkan sedang menyusun konstitusi baru.

Alasan Mahkamah Konstitusi Mesir menumbangkan parlemen adalah soal aturan keikutsertaan pemilu. Anggota parlemen Mesir dipilih dari jalur independen dan partai. Sebanyak 2/3 anggota parlemen berasal dari jalur partai, sisanya independen. Yang dipermasalahkan Mahkamah Konstitusi Mesir adalah: Anggota partai tetap boleh mengikuti jalur independen untuk masuk ke parlemen.

"Ini melanggar prinsip kesetaraan kandidat, karena anggota partai mendapat dua kali kesempatan masuk parlemen," demikian Mahkamah Konstitusi Mesir.

Sementara keputusan membolehkan Ahmad Shafiq ikut pemilihan presiden, menurut Mahkamah Konstitusi adalah melanggar hak persamaan politik warga Mesir. Sebelumnya, parlemen Mesir sempat mengeluarkan aturan yang melarang para pejabat era Mubarak untuk ikut pemilu apapun.

Lalu, siapa yang berkuasa di Mesir dalam situasi ini? Tetap militer, yang Januari lalu menyerahkan kekuasaannya pada sipil.

Juru bicara Parlemen Mesir, Saad El-Katatny, mengatakan parlemen belum menerima dokumen atau pemberitahuan apapun terkait pembubarannya.

Dalam pernyataan persnya, Ikhwanul Muslimin mengatakan Mahkamah Konstitusi Mesir membuat situasi politik makin berbahaya. Keputusan itu dilihat sebagai langkah mundur revolusi Mesir. "Semua kemajuan demokrasi yang sudah Mesir capai pasca-Mubarak dihapus dan diputarbalik akibat keputusan itu," demikian Ikhwanul Muslimin.

Calon presiden Mesir dari FJP, Mohamed Morsy, dalam pidatonya di televisi Mesir meminta warga untuk tetap datang ke bilik suara akhir pekan ini dan memilih untuk perubahan di negaranya. Namun ia menilai putusan Mahkamah Konstitusi Mesir itu sebagai konspirasi untuk menumbangkan suara rakyat.

Sementara Ahmad Shafik menilai putusan Mahkamah Konstitusi Mesir sebagai bersejarah dan akan berdampak pada hasil pemilihan presiden mendatang. Ia berjanji, di depan pendukungnya, untuk membentuk negara sipil di Mesir dan akan mengembalikan stabilitas politik.

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Hillary Clinton, mengatakan negaranya ingin otoritas militer mengembalikan kekuasaan pada pemerintahan sipil yang terpilih secara demokratis. "Transisi demokrasi sedang berjalan di Mesir, jangan sampai ini berbalik," kata Clinton.

sumber : ap/reuters/aljazeera
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement