REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO - Tank tempur dan panser antihuruhara tampak mengawal jalannya pemilihan presiden Mesir tahap kedua yang digelar Sabtu dan Ahad (16/6). Pilpres putaran kedua ini berlangsung di tengah ketidakpastian politik menyusul keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan pembentukan parlemen adalah tidak sah.
Para pakar hukum mempersoalkan legitimasi pemilihan presiden untuk menggantikan Presiden Mubarak yang mengundurkan diri pada 11 Februari 2011 akibat tekanan revolusi.
"Legitimasi presiden hasil Pilpres ini akan sangat lemah karena ia terpilih di tengah ketidakjelasan konstitusi," kata ahli hukum, Salim Al Sharif, Sabtu (16/6).
Sharif merujuk pada usaha pembentukan konstitusi baru yang tak kunjung selesai akibat tarik-menarik antarkekuatan politik dan Majelis Tertinggi Angkatan Bersenjata (SCAF) yang berkuasa.
Pendapat senada diutarakan pakar hukum konstitusi, Nabil Al Assadi. "Pilpres ini tidak memiliki legitimasi, sama dengan pemilihan legislatif terdahulu yang dilakukan berlandaskan konstitusi hasil referendum yang penuh kontroversi," katanya.
Assadi mengacu pada referendum amandemen konstitusi pada Juni tahun lalu yang dilakukan SCAF atas dukungan Ikhwanul Muslimin, kekuatan utama politik Mesir yang menggerakkan revolusi penumbangan rezim Mubarak.
Sharif mempertanyakan pernyataan SCAF bahwa presiden terpilih akan diambil sumpah di depan Ketua SCAF, Marsekal Hussein Tantawi, tokoh militer yang mengambil alih kekuasaan segera setelah Presiden Mubarak mengundurkan diri.
Pengambilan sumpah presiden terpilih di depan SCAF itu direncanakan setelah MK pada Kamis (14/6) menyatakan parlemen tidak sah.