REPUBLIKA.CO.ID, OSLO -- Pemenang Nobel Myanmar, Aung San Suu Kyi mengatakan, permusuhan tidak berhenti di Myanmar. Hal itu menunjuk konflik dengan pemberontak utara dan kerusuhan komunal yang menargetkan minoritas Muslim.
"Permusuhan tidak berhenti di ujung utara. Di wilayah barat, kekerasan kelompok mengakibatkan pembakaran dan pembunuhan yang terjadi hanya beberapa hari sebelum saya mulai melakukan perjalanan yang membawa saya ke sini hari ini," katanya.
Rezim telah menandatangani kesepakatan gencatan senjata sementara dengan sejumlah kelompok pemberontak dalam beberapa bulan terakhir. Gencatan senjata itu adalah upaya untuk meredakan konflik sipil yang telah mendera di bagian-bagian negara sejak kemerdekaan pada 1948.
Tetapi jauh di utara, di mana perang pecah dengan Tentara Pembebasan Kachin (KIA) Juni lalu setelah gencatan senjata 17 tahun hancur, konflik kembali berkobar. Beberapa pekan terakhir juga telah terlihat bentrokan regional antara mayoritas umat Buddha dan Muslim Rohingya tanpa negara dekat perbatasan barat dengan Bangladesh.
Media setempat melaporkan, 50 orang tewas dan puluhan terluka dalam bentrokan di negara bagian Rakhine tersebut. Sementara PBB memperingatkan adanya kesulitan sangat besar yang dihadapi oleh ribuan pengungsi akibat kerusuhan.