REPUBLIKA.CO.ID, OSLO -- Pemimpin oposisi Myanmar Aung San Suu Kyi(66 tahun) akhirnya menerima Nobel Perdamaian yang seharusnya ia terima pada 1991 di Oslo, Norwegia, akhir pekan lalu.
"Nobel Perdamaian sekali lagi menarik saya ke dunia manusia lain yang berbeda dengan tempat terisolasi dimana saya hidup dan membuat saya merasakan kembali realitas yang sempat terlupa," ujar Suu Kyi dalam pidatonya di Aula Kota Oslo yang dihadiri Raja Norwegia Harald dan Ratu Sonja.
Ia menambahkan, permusuhan masih berlangsung di bagian utara Myanmar. Kekerasan komunal yang berujung pembakaran dan pembunuhan terjadi hanya beberapa hari sebelum Suu Kyi, memulai perjalanannya yang bersejarah ke Eropa.
Dengan mengenakan pakaian tradisional Myanmar berwarna ungu dan tampak sehat, Suu Kyi mengatakan masih ada tahanan politik yang belum dibebaskan. Tahanan politik terkemuka sudah dibebaskan. Ia takut para tahanan politik yang tidak begitu dikenal akan dilupakan. Pidatonya disambut gemuruh tepuk tangan dari undangan yang memadati aula.
Suu Kyi yang terpilih sebagai anggota parlemen pada April yakin, Presiden Thein Sein ingin membawa negaranya ke jalan baru. Ia menilai penangguhan dan bukannya pencabutan sanksi juga dinilainya sebagai langkah yang tepat untuk menjaga tekanan terhadap pemerintah. Jika reformasi terbukti palsu, segala kemudahan akan kembali diambil.
Suu Kyi menghabiskan 15 tahun hidupnya sebagai tahanan rumah sejak 1989. Ia dibebaskan pada akhir 2010. Kedua putranya Kim dan Alexander menerima hadiah Nobel atas namanya. Suaminya, Michael Aris, juga menghadiri upacara tersebut.
Setahun kemudian Suu Kyi mengatakan dia akan menggunakan hadiah uang 1,3 juta dolar AS bagi kesehatan dan pendidikan rakyat Myanmar. Sabtu lalu, Kim dan saudara kembar suaminya, Anthony Aris, menghadiri upacara penerimaan Nobel Suu Kyi.
Ia berterima kasih kepada Norwegia atas dukungan dan peran penting yang dimainkan dalam transformasi Myanmar. Pada 1990, Rafto Foundation yang berbasis di Bergen memberikan penghargaan tahunannya kepada Suu Kyi setelah pekerja sosial Norwegia di Asia Tenggara menyoroti perjuangannya.
Penghargaan tersebut memberikan publisitas kepadanya selama perjuangannya tanpa kekerasan melawan junta militer Myanmar.