Rabu 20 Jun 2012 18:58 WIB

Suu Kyi Siap Bawa Myanmar Menuju Negara Demokrasi

Aung San Suu Kyi
Foto: Khin Maung Win/AP
Aung San Suu Kyi

REPUBLIKA.CO.ID, OXFORD, INGRIS - Pemimpin kelompok oposisi Myanmar Aung San Suu Kyi (67 tahun) di Inggris pada Selasa menyatakan siap menjadi pemimpin untuk rakyat Myanmar, yang merupakan sinyal terkuat bahwa ia mampu membawa negaranya menuju demokrasi.

Tentara penguasa Myanmar membebaskan alumnus Oxford itu dari tahanan rumahnya, yang mengantarkan Myanmar menuju harapan perubahan dan Suu Kyi melakukan perjalanan ke luar negeri untuk pertama kali sejak puluhan tahun lalu.

Menjelang pemilihan umum nasional pada 2015, putri pahlawan kemerdekaan Myanmar tersebut mengatakan dapat memimpin bangsanya dengan benar. "Apakah saya bisa memimpin Myanmar dengan cara benar? Ya, saya bisa," katanya kepada BBC.

Peraih penghargaan Nobel perdamaian dan ikon pahlawan politik tanpa kekerasan itu meninggalkan suami dan dua putranya di Inggris pada 1988 demi memperjuangkan demokrasi di Myanmar. Pada saat itu, pihak militer merebut kekuasaan atas Myanmar dan menindas segala bentuk aksi protes prodemokrasi.

Suu Kyi mendekam di dalam rumahnya sebagai tahanan selama 20 tahun lebih. Selama sebagai tahanan rumah itu, Suu Kyi tidak dapat menghabiskan waktu bersama kedua putranya, Kim dan Alexander. Dia bahkan tidak dapat menemani suaminya, Michael Aris, di saat meninggal dunia karena penyakit kanker pada 1999.

Suu Kyi disambut bak pahlawan dalam kunjungannya ke Inggris, sebagai bagian dari rangkaian perjalanannya ke Eropa. Dia mendapat sambutan tepuk tangan meriah, Selasa, saat menyampaikan pidato di auditorium Sekolah Ekonomi London sebagai awal kembalinya ke Inggris. Dia diperlakukan seperti bintang tepat pada perayaan ulang tahunnya yang ke-67 itu.

"Ini semua karena kalian dan kalian juga yang memberi saya kekuatan untuk terus berjuang. Dan saya kira, saya orang yang keras kepala." katanya.

Dia kemudian mengunjungi Kota Oxford, tempat dia membaca buku mengenai politik, filosofi dan ekonomi pada 1960-an. Di kota itu pula Suu Kyi tinggal selama bertahun-tahun bersama dengan suami dan anak-anaknya. "Selamat datang kembali," sambut ratusan orang di Oxford.

Sekira 200 aktivis dan penduduk lokal berkumpul di Oxford tengah untuk menyambut Suu Kyi yang melewati gang bersama dengan iring-iringan mobil. Peter Khin Tun (54 tahun), seorang doktor yang melarikan diri dari Myanmar 18 tahun lalu, mengaku bangga terhadap Suu Kyi.

"Saya merasa begitu dekat dengan Suu Kyi. Itulah mengapa saya datang kemari. Dia jujur kepada dirinya sendiri. Sekarang ini sangat sulit menemui orang dengan kejujuran hati seperti dia," kata Peter.

Selama di Oxford, Suu Kyi diperkirakan bertemu dengan kedua putranya dan kerabatnya, yang belum pernah ia jumpai, dalam reuni pribadi.

Hal itu akan menjadi peristiwa sukacita sekaligus menyakitkan bagi seorang perempuan yang menolak meninggalkan Myanmar selama puluhan tahun karena khawatir tidak diizinkan kembali masuk oleh militer jika dia keluar dari negara itu.

"Saya kangen mereka dan mereka merindukan saya. Tapi, seperti yang saya katakan tadi, ketika menyaksikan kehidupan rekan-rekan saya, hal itu jauh lebih buruk," katanya.

"Saya tidak menyalahkan keadaan itu. Menurut saya semua orang harus bertanggungjawab atas perbuatan mereka. Saya bertanggungjawab atas apa yang saya lakukan dan terhadap diri saya, begitu juga kedua putra saya," lanjutnya.

Suu Kyi dijadwalkan akan menerima gelar kehormatan dari Universitas Oxford, Rabu, dan memberikan pidato di hadapan komunitas debat Oxford Union. Selain itu, Kamis (21/6), dia akan kembali ke London untuk menyampaikan pidato di hadapan dua parlemen Inggris, suatu kehormatan yang jarang terjadi.

Suu Kyi membungkuk dengan anggunnya saat para aktivis meneriakkan "Selamat Ulang Tahun" dan membentangkan spanduk bertuliskan "Bebaskan Semua Tahanan Politik". "Kamulah pemimpin kami! Kamu akan menyelamatkan demokrasi!" teriak Htein Lin, salah satu aktivis yang mengenakan kaos bergambar Suu Kyi.

Suu Kyi adalah putri Aung San, pahlawan kemerdekaan Myanmar. Di London, Suu Kyi berbicara mengenai kepentingan supremasi hukum di Myanmar, yang saat ini berada di bawah kendali militer selama 49 tahun. Namun dalam beberapa bulan terakhir, Myanmar mengejutkan dunia dengan penyelenggaraan serangkaian aksi reformasi demokratis, termasuk pemilihan umum anggota parlemen.

"Alasan mengapa saya menempatkan kepentingan supremasi hukum dalam kinerja politik adalah karena itulah yang kita perlukan jika kita bersungguh-sungguh ingin menuju demokrasi," kata perempuan yang dilantik menjadi anggota parlemen Mei.

"Meskipun orang melihat bahwa keadilan sudah ditegakkan dan tampak berjalan baik, kita tidak bisa percaya begitu saja terhadap reformasi yang asli," tambahnya.

Militer Myanmar merebut kekuasaan pada 1988 dengan menindas bentuk demonstrasi prodemokrasi. Partai pimpinan Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi, menang dalam pemilihan umum pada 1990, tetapi para jenderal militer yang berkuasa menolak mundur.

Suu Kyi mengatakan dalam pidatonya di London bahwa dia dapat bekerja dengan para militer penguasa tersebut dalam mengubah konstitusi. "Apakah menurut kami itu dapat diperbaiki Ya, karena menurut kami bekerja dengan militer dapat membuat mereka memahami pemikiran kami bahwa mengapa konstitusi yang saat ini berlangsung tidak dapat membawa Myanmar ke arah positif," tegasnya.

sumber : Antara/Xinhua-OANA
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement