Kamis 28 Jun 2012 23:50 WIB

Satu Generasi Pendidikan Hilang, Myanmar Harus Membayar Mahal

Para lulusan Universitas Yangon, Myanmar. Foto diambil pada tahun 2008 silam
Foto: AP
Para lulusan Universitas Yangon, Myanmar. Foto diambil pada tahun 2008 silam

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -  Kamar-kamar asrama kosong, di mana dulu terdapat pula bungalow  para profesor yang ditumbuhi perdu dan anggur. Saat ini bangunan Serikat Mahasiswa hanya ditumbuhi semak dan rumput,  ketika tentara menyerbu dengan dinamit.

Begitu sekilas pemandangan Universitas Yangoon, yang dulu pernah menjadi salah institusi pendidikan terbaik di Asia. Kini menjadi simbol nyata sistem yang dilumpuhkan oleh pemerintahan junta militer selama setengah abad.

Hanya mahasiswa pascasarjana yang dibolehkan untuk belajar di sana. Takut dengan ancaman gerakan mahasiswa, rezim secara periodik menutup lembaga pendidikan tersebut dan juga kampus-kampus lain di penjuru negara. Mereka hanya memaksa siswa-siswa pindah dan terpencar ke kawasan terpencil dengan fasilitas minim.

Kini setelah bangsa yang dulu dikenal Burma membuka pintu kepada dunia luar, negara itu harus membayar harga sangat mahal. Blokade dan pelarangan aktivitas di universitas memunculkan satu generasi yang hilang.

Langkah pembangunan dipastikan akan melambat. Sementara Myanmar, ujar para pendidikan, saat  dihadapkan dengan kedatangan investor asing dan dana bantuan bersama para pencari keuntungan yang meninginkan uang cepat, masih harus mengatasi dengan populasi rakyat berpendidikan rendah.

"Untuk bisam mengejar ketertinggalan dengan dunia lain, kami membutuhkan paling tidak sepuluh tahun. Kami harus mengubah budaya pendidikan sepenuhnya, dan itu pekerjaan yang sangat luar bias sulit," ujar Dr Phone Win, seorang dokter yang juga mengepalai LSM fokus promosi pada pendidikan, Mingalar Myanmar. Namun, ia tetap optimistis, meski sulit, bukan tidak mungkin Myanmar akan mengejar bila pemerintah mau bergerak cepat.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement