Selasa 03 Jul 2012 08:16 WIB

Yitzhak Shamir, Akhir Hidup Si Penentang Intifada

Rep: devi anggraini oktavika/ Red: M Irwan Ariefyanto
Yitzhak Shamir
Foto: ap
Yitzhak Shamir

Ditemani upacara kenegaraan, jasad salah satu pemimpin gerakan Yahudi itu dikembalikan ke perut bumi, Ahad (1/7). Ia memberontak sepanjang hidupnya, menghalalkan berbagai cara untuk membangun negara Yahudi, dan akhirnya melupakan semua jauh sebelum ajal menjemputnya. Alzheimer menjadi penyebab akhir hayatnya.

Terlahir dengan nama Icchak Jeziernicky di Ruzhany, Kerajaan Rusia (sekarang Belarus), Yitzhak Shamir muda bergabung dengan Be tar, gerakan pemuda Zionis Revisionis. Ia sempat belajar di Fakultas Hukum Universitas Warsawa, Polandia, namun berhenti karena bermigrasi ke wilayah Palestina yang kala itu berada di bawah kekuasaan Inggris. Menetap di Palestina, pada 1935 ia mengganti nama belakangnya menjadi Shamir setelah menikahi Shulamit Shamir, imigran asal Bulgaria.

Shamir jadi biang konflik berkepanjangan di kawasan Timur Tengah. Bahkan, sebelum terbentuknya Israel pada 1948, Shamir telah memimpikan wilayah bagi eksistensi negara Yahudi yang terbentang dari Laut Mediterania hingga Sungai Yordania.

Shamir dikenal sebagai tokoh yang keras kepala dan tak mau berkompromi. Salah satu buktinya, tulis Alarabiya, ditunjukkan dengan keengganannya menarik pasukan dari kawasan yang diduduki Israel. Dalam hal ini, sikap Menachem Begin dan Ariel Sharon relatif lebih lunak ketimbang Shamir. Begin dan Sharon masih mau menarik pasukan dari Semenanjung Sinai dan Jalur Gaza.

Perjuangannya untuk kaum Yahudi bermula ketika ia bergabung dengan Irgun Zvai Leumi, sebuah kelompok fanatik paramiliter yang menentang kontrol Inggris atas Palestina. Ketika kelompok tersebut terpecah pada 1940, Shamir bergabung dengan fraksi yang lebih militan, National Military Organization di Israel, yang dikenal pula sebagai Stern Gang, di bawah pimpinan Avraham Stern.

Tahun 1941, ia dipenjara otoritas Inggris, dan setelah pemimpinnya terbunuh pada 1942, Shamir melarikan diri dari kamp tahanan dan menjadi satu dari tiga pemimpin kelompok tersebut pada 1943. Bersama Nathan Yellin-Mor dan Israel Eldad, ia mereformasi dan mengubah nama faksi itu menjadi Lohamei Herut Israel atau Lehi.

Lehi menjelma menjadi satu dari tiga gerakan Yahudi paling keras penentang Inggris, di mana Shamir berusaha meniru perjuangan anti-Inggris Partai Republik Irlandia. Setelah dibuang dan diasingkan ke Afrika oleh otoritas Inggris pada Oktober 1944, ia coba melarikan diri dari kamp penahanan dengan sembunyi di tangki air, dan kembali bersama tahanan lain pascadeklarasi kemerdekaan Israel pada 1948.

Pada peperangan Arab- Israel yang pecah tak lama s telah negara Yahudi itu berdiri, Lehi menjadi salah satu organisasi paramiliter yang diandalkan Israel. Namun, Lehi dibubar kan paksa setelah kelompok yang selama perang menjauhkan diri dari kontrol pemerintah itu membenarkan pembunuhan perwakilan PBB di Timur Tengah, Count Folke Berna dot te. Lehi menyebut Bernadotte sebagai agen Inggris yang bekerja untuk Nazi.

Tentang gerakan sayap kanan Lehi ini, Shamir membedakan dengan perjuangan nasional pemuda Palestina lewat aksi lempar batu atau dikenal dengan Intifada. Gerakan Intifada yang terlahir pada 1987, disebutnya sebagai gerakan militan ‘teroris’.

Padahal, Lehi dan Intifada sama-sama merupakan gerakan nasionalis yang berjuang untuk kemerdekaan. Namun, berkali-kali ditanya tentang seseorang yang berjuang lalu mati karena memperjuangkan nasionalismenya, Shamir tetap kukuh pada pendiriannya. “Lehi dan Intifada adalah dua gerakan nasional yang berbeda,” kata Shamir kepada New York Times pada 1988.

Ia berdalih, gerakannya bertujuan mendirikan negara Yahudi. “Tujuan utama kami adalah berdirinya negara Yahudi di tempat yang belum ada negara, bukan untuk menghancurkan negara yang telah berdiri. Adapun tujuan utama Palestina adalah untuk menghancurkan negara Israel,” k tanya kepada New York Times.

Entah lupa atau sengaja melupakan sejarah, imigran Israel, termasuk dirinya, datang ke tempat yang dihadiahkan dari hasil penjajahan Inggris, yakni tanah Palestina. Tanah yang seharusnya di kembalikan ke pemilik s sungguhnya, yaitu bangsa Palestina.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement