REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- NATO menyelidiki kemungkinan bom jalanan penembus kendaraan lapis baja dan membunuh enam tentara Amerika Serikat (AS) pada akhir pekan lalu. Menurut NATO, bom itu adalah jenis baru atau hanya berisi lebih banyak bahan peledak daripada yang biasa.
"Pasukan Bantuan Keamanan Asing (ISAF) pimpinan Persekutuan Pertahanan Atlantik Utara (NATO) masih mengkaji kejadian itu", kata Sekretaris Pers Pentagon George Little kepada wartawan, seperti dilansir AFP. "Kami menunggu kesimpulan mereka," katanya, Rabu (11/7).
Korban tewas akibat pemboman di Provinsi Wardak, Afghanistan Timur itu adalah yang tertinggi untuk kejadian tunggal di antara pasukan Amerika sejak kecelakaan helikopter pada 19 Januari. Saat itu enam tentara tewas.
Jumlah korban itu luar biasa tinggi untuk serangan bom jalanan dan pejabat menyatakan terlalu dini mengatakan kemungkinan peledak itu lebih canggih daripada yang biasa ditanam Taliban. Taliban umumnya menggunakan bahan pupuk amonium nitrat.
Tanda awal menunjukkan, bom itu dikemas dengan sejumlah besar bahan peledak. Menurut Juru Bicara Kapten John Kirby, bom itu tidak mencerminkan rancangan lebih maju. "Sekarang, segala sesuatu tampak hanya jumlah lebih bahan peledak daripada jenisnya," kata Kirby pada jumpa pers sama.
Ketika ditanya apakah Pentagon bisa mengecualikan kemungkinan bom lebih maju buatan Iran, peledak penerobos (EFP), yang digunakan dengan dampak buruk di Irak, Kirby mengatakan, "Kami tidak mengesampingkan apa pun di dalam atau di luar sekarang."
Tentara yang tewas pada Ahad itu berada di dalam kendaraan Pelindung Sergapan Tahan Ranjau (MRAP), yang memiliki lambung berbentuk V. Kendaraan itu dirancang untuk menahan bom rakitan. MRAP dikerahkan ke Afghanistan dalam jumlah besar dan dipuji akibat mengurangi korban dari peledak jalanan. Bom rakitan telah menewaskan sedikitnya 84 tentara AS di tahun ini.