REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat, Barack Obama mengurangi sanksi terhadap Myanmar, yang memungkinkan perusahaan AS melakukan usaha di negara Asia tenggara itu. Obama menyebut langkahnya sebagai 'sinyal kuat' dukungan AS untuk reformasi, yang sedang berjalan di Myanmar.
Pemerintah AS mencatat terus melakukan reformasi ekonomi dan politik penting mengikuti kemajuan berarti di sepanjang jalan menuju demokrasi. Dalam pesan eksekutif mengenai peringanan sanksi, Obama mengutip kemajuan menuju reformasi politik yang dilakukan Pemerintah Myanmar yang dipimpin Presiden U Thein Sein. Sejak menjabat pada Maret 2011 lalu, Sein sukses melakukan gebrakan, termasuk pembebasan ratusan tahanan politik, pembicaraan gencatan senjata dengan beberapa kelompok etnis bersenjata , dan dialog substantif dengan oposisi.
Obama juga menyatakan keprihatinan mendalam tentang apa yang ia sebut kurangnya transparansi dalam iklim investasi negara dan peran militer dalam perekonomian. "Seperti yang kita tunjukkan pada Mei, perusahaan-perusahaan angkatan bersenjata dan Departemen Pertahanan tidak akan meliputi Lisensi Umum," katanya.
Obama menambahkan, perusahaan-perusahaan AS akan ditanya juga untuk melaporkan kegiatan mereka sesuai dengan standar tata kelola perusahaan internasional. Selain itu, Obama resmi memperluas sanksi terhadap mereka yang merusak proses reformasi Myanmar, terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia, memberikan kontribusi untuk konflik etnis, atau berpartisipasi dalam perdagangan militer dengan Pyongyang.
"Pesan ini merupakan pesan yang jelas kepada pemerintah Burma dan pejabat militer: orang-orang yang terus terlibat dalam perilaku kasar, korup atau tidak stabil ke depan tidak akan memetik hasil reformasi," katanya.
Washington menjatuhkan sanksi pada Myanmar pada Mei 1997 dan diperpanjang selama bertahun-tahun, di mana investasi AS dan semua impor dari Myanmar telah dilarang. Aset lembaga keuangan tertentu di Myanmar dibekukan, dan pembatasan visa yang dikenakan pada pejabat pemerintah Myanmar. Hubungan bilateral telah meningkat setelah Menteri Luar Negeri AS, Hillary Clinton berkunjung ke Myanmar pada Desember tahun lalu.