Jumat 20 Jul 2012 08:48 WIB

Rusia-Cina Kembali Veto Resolusi Dewan Keamanan Soal Suriah

Veto
Veto

REPUBLIKA.CO.ID, PBB, NEW YORK --  Rusia dan Cina, Kamis (19/7) kembali menggunakan hak vetonya untuk menentang resolusi Dewan Keamanan PBB . Resolusi itu mengancam Suriah dengan sanksi kalau mereka tak menghentikan kekerasan terhadap pemrotes.

Dengan apa yang dilakukan Rusia dan Cina itu kembali memudarkan harapan negara-negara Barat sementara krisis di Suriah terus meningkat.

Rusia sendiri telah mengusulkan resolusi pilihan dengan memperpanjang misi PBB selama tiga bulan tanpa ancaman sanksi. Duta Besar Rusia, Vitaly Churkin kepada Dewan Keamanan mengatakan, Rusia ingin menghindari bentrokan lebih lanjut. Namun para diplomat Barat mengatakan resolusi Rusia mendapat sedikit dukungan di Dewan Keamanan.

Dewan masih memiliki waktu untuk merundingkan resolusi lain mengenai nasib misi pengamat PBB yang tak bersenjata sebelum mandat awalnya selama 90 hari berakhir pada Jumat larut malam waktu setempat (Sabtu pukul 11.00 WIB).

Setelah veto oleh Rusia dan Cina, Inggris mengusulkan resolusi baru yang singkat guna memperpanjang misi pemantauan selama 30 hari. Inggris berharap pemungutan suara terhadap resolusi itu dilakukan pada Kamis waktu setempat.

Tetapi Churkin mengatakan ia perlu melapor dulu ke Moskkow mengenai usul baru Inggris dan itu akan menunda pemungutan suara mengenai perpanjangan masa tugas misi PBB tersebut sampai Jumat.

Lyall Grant mengatakan resolusi baru Inggris hanya akan mengizinkan perpanjangan waktu misi selama 30 hari lagi kalau pemerintah Suriah telah berhenti menggunakan senjata berat dan telah menarik tentara dari kota besar dan kecil dan kalau tingkat kerusuhan telah turun cukup jauh hingga memungkinkan misi itu bekerja.

Itu adalah ketiga kali Rusia --sekutu utama pemerintah Suriah-- dan Cina menggunakan hak veto mereka guna menghalangi resolusi yang dirancang untuk menekan Presiden Suriah Bashar al-Assad dan menghentikan konflik 16 bulan yang telah menewaskan ribuan orang.

sumber : Antara/Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement