REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Republik Myanmar menolak upaya beberapa kalangan untuk mempolitisasi dan menginternasionalisasi situasi di wilayah Rakhine sebagai isu agama. Pernyataan pemerintah disampaikan melalui rilis.
Pemerintah Myanmar mengatakan pihaknya telah melakukan pengendalian yang maksimal untuk memulihkan hukum dan ketertiban di tempat-tempat tertentu di wilayah Rakhine. Myanmar sangat menolak tuduhan yang dibuat oleh beberapa kalangan bahwa kekerasan dan penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh pihak yang berwenang dalam menangani situasi kerusuhan di wilayah tersebut.
"Myanmar adalah negara multi agama di mana Buddha, Kristen, Muslim, dan Hindu hidup bersama dalam damai dan harmoni selama berabad-abad. Oleh karena itu, insiden yang terjadi di Rakhine bukan karena penindasan agama atau diskriminasi," kata pemerintah dalam pernyataannya.
"Perdamaian dan stabilitas sangat diperlukan demi berlangsungnya demokrasi dan proses reformasi di Myanmar. Solidaritas nasional dan harmoni rasial antar kebangsaan yang berbeda adalah penting bagi berlangsungnya kesatuan."
Pihak yang berwenang telah mengambil tindakan yang diperlukan dengan hati-hati. Pemerintah bekerja sama dengan pemimpin agama dan masyarakat, partai politik, dan organisasi sosial untuk mengatasi masalah tersebut.
Pada 11 Juni, Presiden U Thein Sein menyampaikan pernyataan terkait insiden di wilayah Rakhine. Dalam pernyataannya, presiden mengimbau masyarakat Myanmar untuk bekerja sama dengan pemerintah dan mengimbau meminta kepada semua untuk mewujudkan setiap aspek situasi dengan kemurahan hati.
Presiden juga berjanji akan sangat mementingkan aturan hukum yang berlaku. Kantor Presiden menyatakan Keadaan Darurat Negara di wilayah Rakhine untuk menghentikan kekerasan dan mengembalikan hukum dan ketertiban pada 12 Juni 2012.