Rabu 01 Aug 2012 17:04 WIB

Muslim Rohingya: Kami tak Mau Pulang

Rep: asep wijaya/ Red: M Irwan Ariefyanto
Pengungsi Muslim Rohingya.
Foto: AP
Pengungsi Muslim Rohingya.

REPUBLIKA.CO.ID, Muslim Rohingya yang bisa melarikan diri keluar dari Myanmar menyimpan trauma amat dalam soal penindasan dan pembantaian di negaranya.

Dua pengungsi Rohingya tahanan Ditjen Imigrasi yang ditemui Republika di Bogor, Jawa Barat, menceritakan kisah pilu bagaimana tersiksanya menjadi Islam di Myanmar.

Yang berbicara banyak adalah Rofik (17 tahun). Ia bersama rekannya, Ibrahim (16), terpisah dari rombongan besar mereka sebanyak 20 orang yang sebelumnya ditahan Ditjen Imigrasi. Namun, rekan mereka melarikan diri dan meninggalkan Rofik-Ibrahim tanpa uang. Mereka akhirnya menyerah kan diri ke Polresta Bogor yang kemudian mengontak Kantor Imigrasi Kota Bogor untuk membawa keduanya.

Saat ditemui di Kantor Imigrasi Bogor, keduanya tampak rapi dengan celana panjang dan kaus. Rambut mereka klimis. Tapi, kepala selalu menunduk dan diam. Keduanya memilih memainmainkan jari-jari tangan sebelum akhirnya menceritakan kisah mereka.

“Di Myanmar kita tidak diakui sebagai warga negara. Akibatnya kita sulit hidup,” ucap Rofik, pengungsi yang bisa berbahasa Melayu, menjawab pertanyaan Republika.

Ia mengungkapkan, umat Islam sukar hidup layak dan selalu mendapat perlakuan diskriminatif di Provinsi Arakan, Myanmar. Militer, Rofik menyebutnya sebagai infanteri pembantai, kerap melakukan razia ke rumah rumah etnis Rohingya.

Nahas bagi yang ketahuan memeluk Islam atau malah sedang shalat. Dalam satu kesempatan, kata Rofik, tentara mendobrak rumah warga Rohingya. Mereka juga pernah menghabisi warga yang sedang shalat. “Masjid di tempat saya dibakar. Saudara saudara saya yang sedang shalat di dalamnya dibunuh. Ditebas pedang,” kata Rofik.

Melihat peristiwa tragis itu membuat Rofik dan pemuda Rohingya lainnya trauma. Mereka takut shalat. Tak jarang mereka sengaja melewatkan shalat karena khawatir terkena razia militer. Razia pun tak kenal waktu. Bisa siang atau malam. Rofik mengatakan, saat razia militer berlangsung malam hari terdengar jeritan-jeritan warga yang tengah disiksa. “Saudaraku dipotong dulu telinganya, lalu hidungnya kemudian tangannya, dan dibiarkan mati,” kata Rofik.

Ingin kembali ke kampung halaman? Tegas Rofik menjawab sambil menggeleng, “Tidak!“ Ketika ditunjukkan berita dengan foto pejuang demokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi, Rofik mengatakan, “Aung San Suu Kyi pun diam untuk kami. Kami tak pernah dianggap menjadi seorang Myanmar.”

Rombongan Rofik dan Ibrahim mengaku baru keluar dari Arakan awal Juli. Mereka melarikan diri lewat jalur laut, menyusuri pesisir barat Thailand dan singgah sebentar di Malaysia. Mereka ingin ke Pulau Christmas, Australia.

Mengomentari tragedi Rohingya, Menteri Luar Negeri Myanmar Wunna Maung Lwin membantah pembantaian Muslim Rohingya oleh tentara Seperti dikutip dari AFP, negaranya mewaspadai ambisi pihak yang ingin isu Rohingya ini dipolitisasi dan diinternasionalisasi sebagai kasus HAM.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement