REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganggap konflik yang terjadi di Myanmar merupakan konflik komunal dan konflik horizontal. Ia menilai tak ada genosida atau pembantaian etnis tertentu di negara tersebut.
"Permasalahan etnis Rohingya yang ada di Myanmar yang terjadi adalah konflik komunal, horizontal antara etnis Rohingya dengan etnis Rakhine," katanya saat memberikan saat memberikan keterangan pers di kediamannya di Puri Cikeas, Sabtu sore (4/8).
Ia mengatakan konflik tersebut sama seperti konflik yang pernah terjadi di Indonesia. Utamanya konflik di Poso, Ambon, dan Aceh. Kala itu, Indonesia juga dianggap tidak bisa melindungi minoritas. Pun dengan Myanmar yang mendapatkan pandangan serupa dari dunia internasional.
Ia menjelaskan etnis Rohingya sendiri berasal dari Bangladesh. Meski sudah sampai empat generasi, keberadaan etnis tersebut di Myanmar tetapi kebijakan dasar pemerintah negara itu belum mengakuinya sebagai salah satu dari 135 etnis yang ada. Hingga pada Mei-Juni lalu terjadi intensitas konflik atas dua etnis. Akibatnya ada 77 orang meninggaal, 109 orang luka, 5 ribu rumah rusak atau terbakar, 17 masjid rusak, 15 monastries (tempat ibadah agama budha) rusak.
"Ada isu kemanusiaan setelah terjadinya konflik berskala yang relatif tinggi," katanya.
Sekarang, tercatat pengungsi Rohingya dari 28 ribu di tempat pengungsian, meningkat jadi 53r ribu pengungsi. Sedangkan pengungsi Rakhai 24 ribu. "Memang ada penilaian bahwa penanganan pengungsi Rakhai oleh pemerintah Myanmar dinilai lebih baik tetapi sebaliknya, atensi etnis Rohingya oleh PBB oleh etnis Rakhai dianggap lebih baik. Ada kecemburuan penanganan kedua komunitas itu," katanya.
Namun, meski ada konflik, tak sampai menjurus pada indikasi genosida. Untuk diketahui, etnis Rohingya berasal dari Bangladesh. Tetapi, saat konflik tersebut mencuat, pemerintah Bangladesh memilih tak ikut campur, tidak membantu juga etnis Rohingya. Bahkan ketika terjadi clash, perbatasan kedua negara ditutup.
Menurut Presiden SBY, pemerintah Myanmar sudah berupaya untuk mengatasi persoalan tersebut dengan mengajak duta besar negara-negara sahabat dan organisasi internasional untuk melihat langsung kondisi di lapangan. Apalagi pemerintah Myanmar sedang berupaya untuk melakukan demokratisasi, rekonsiliasi diantara pihak berseberangan, serta sedang mengupayakan nation building di antara komponen yang ada di Myanmar setelah dilaksanakan pemilu.
"Memang ada kritik terhadap Myanmar terutama penanganan konflik yang melibatkan dua etnis tersebut antara lain, pemerintah Myanmar dianggap diskriminatif, kurang berikan proteksi kepada minoritas, dan penyelesaiannya tidak tuntas," katanya.
Namun, ia menyakini Myanmar mendengar kritik itu seperti Indonesia mendengar kritik pada saat penanganan konflik di sejumlah daerah. Kala itu pun Indonesia dianggap tidak melindungi komunitas minoritas.
Karena kesamaan itulah, ia berkeyakinan pemerintah Myanmar pun bergarak. "Indonesia infin dan berharap agar konflik komunal yang akibatkan permasalahan kemanusiaan etnis Rohingya benar-benar ditangani dan diselsaikan secara bijak adil, tepat dan tuntas," katanya.
Di bidang aspek kemanusiaan, Indonesia juga menyerikan agar perlindungan minoritas sungguh diberikan, dan pembangaunan kampung yang rusak bisa dilakukan. "Saya ini karena kenyataan dalam kamp pengungsi adalah etnis Rohingya, Indonesia siap memberikan bantuan dan kerja sama," katanya.