Senin 06 Aug 2012 11:48 WIB

PBB Desak Myanmar Bentuk Komisi Kebenaran

Rep: Devi Anggraini/C40/ Red: Heri Ruslan
Pengungsi Muslim Rohingya.
Foto: AP
Pengungsi Muslim Rohingya.

REPUBLIKA.CO.ID,  YANGON — Utusan khusus PBB untuk masalah HAM Myanmar, Tomas Ojea Quintana, menegaskan konflik antara etnis Buddha Rakhine, Pemerintah Myanmar, dan Muslim Rohingya merupakan masalah HAM serius.

Quintana mendesak ada penyelidikan secara menyeluruh dan independen terkait konflik yang ia kategorikan etnoreligius itu. Ia mengatakan, pelanggaran HAM atas Muslim Rohingya di Rakhine merupakan kasus HAM terumit yang dihadapi satu negara.

PBB mengimbau agar para pihak yang terlibat konflik untuk duduk bersama dan membentuk apa yang dinamakan Komisi Kebenaran. “Saya telah berdiskusi dengan berbagai pemangku kepentingan dalam kasus ini, termasuk kelompok etnis, pemimpin partai politik, dan anggota parlemen, untuk perlunya membentuk Komisi Kebenaran,” kata Quintana, dalam jumpa pers, akhir pekan lalu.

Pelapor PBB ini juga me minta Pemerintah Myanmar meninjau kembali UU Kewarganegaraannya, yang menolak kewarganegaraan minoritas Muslim Rohingya. Quintana, yang selama sepekan terakhir berada di Myanmar dan mengunjungi daerah konflik di Rakhine, mengatakan, penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM harus dilakukan untuk melapangkan jalannya transisi demokrasi Myan mar.

Menurut dia, cara Pemerintah Myanmar menghentikan kasus pelanggaran HAM di Rakhine atas etnis minoritas Rohingya bisa menyembuhkan luka di masyarakat dan membuka pintu rekonsiliasi bagi semua etnis.

Quintana mengutip lapor an LSM internasional, Human Rights Watch (HRW), soal kon flik Myanmar yang sudah me makan korban jiwa 90 orang dan 100 ribu menjadi pengung si. Dia mengatakan, komunitas HAM yang berbasis di New York itu menuding Pemerintah Myanmar menggunakan kekuatan militer untuk meredam kerusuhan antaretnis tersebut. Tindakan represif dibarengi dengan tindakan diskriminatif itu menjadikan etnis Muslim Rohingya sebagai target pembunuhan.

Quintana menegaskan, fakta-fakta pembantaian atas Rohingya harus diteliti dan pelakunya harus bertanggung jawab. Dia melanjutkan, masih banyak yang belum diketahui tentang peristiwa berdarah selama dua pekan di Rakhine pada awal kerusuhan itu. Kerusuhan, pembakaran, pemerkosaan, dan pembunuhan secara sistematis, kata Quin tana, sengaja ditutup dari dunia luar.

Dari negara bagian Ra khine, laman berita online berbasis Myanmar, Mizzima, mengabarkan Wakil Presiden Myanmar Sai Mauk Kham meninjau lokasi konflik dan kamp pengungsi Muslim Ro hingya. Juru bicara pemerintah negara bagian Rakhine, Win Myaing, memaparkan, wapres diharapkan bisa meninjau kamp pengungsi Rohingya di Kyaukphyu dan Sittwe.

“Jika kritikus asing datang ke sini, mereka akan melihat bahwa kita telah memperlakukan semua orang sama,” kata Win Myaing.

Kepala Vihara Buddha di Maungdaw, Ven Manisara, mengkritik aksi relawan internasional. Menurut dia, bukan cuma Muslim Rohingya yang menderita dari konflik di Rakhine, melainkan warga Buddha juga. Namun, relawan internasional hanya fokus ke Muslim Rohingya.

Ven menuding relawan internasional tidak adil. Ia lan tas mendukung kebijakan Presiden Sein yang menghendaki Muslim Rohingya keluar dari Myanmar karena sudah disusupi oleh imigran gelap dari Bangladesh.

sumber : AP/Irrawadi/Aljazeera/ Myanmar.com
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement