REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN — Wali Kota Medan Rahudman Harahap mendesak pemerintah pusat secepatnya mengeluarkan kebijakan keberadaan Muslim Rohingya di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Belawan, Sumatra Utara.
Pasalnya, ada pengungsi yang sudah tujuh tahun tinggal di pengungsian tanpa kepastian kapan yang bersangkutan akan dikirim ke negara penampung.
“Saya sangat prihatin dengan kondisi ini. Agar tak berlarut-larut, pemerintah hendaknya secepatnya memfasilitasi mereka ke forum resmi yang melibatkan lembaga internasional,” kata Rahudman saat mengunjungi 26 pengungsi Rohingya di Rudenim Belawan, akhir pekan lalu.
Dalam kunjungan itu, satu pengungsi Rohingya, Muhammad Jamin, yang bersama istri dan dua anaknya yang masih kecil-kecil, menceritakan kisah pilunya keluar dari Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Jamin menuturkan, ia terpaksa lari meninggalkan kampung halaman karena tidak tahan menghadapi perlakuan diskriminatif dan tindakan kekerasan.
“Kami diperlakukan sangat diskriminatif, tidak boleh meninggalkan wilayah tempat tinggal kami. Sesudah itu kami juga diperlakukan seperti kuli, setiap harinya disuruh kerja. Jika itu tidak dilaksanakan, kami mendapatkan tindak kekerasan. Lalu, pada bulan puasa kami tidak diperkenan puasa dan melaksanakan shalat,” katanya.
Karena tidak tahan menerima perlakuan seperti itu, Jamin pun membawa istri dan keluarganya mengungsi. Dengan menggunakan perahu bersama beberapa warga Rohingya lainnya, mereka menyeberangi lautan hingga tiba di Belawan pada Juli 2012. Setibanya di Belawan, dengan penuh kesadaran mereka menyerahkan diri kepada pihak Imigrasi agar diberi perlindungan.
Menurut M Jamin, jumlah yang mengungsi saat ini di Rudenim, Belawan, ada 26 orang, terdiri atas 16 pria dan lima wanita, selebihnya anak-anak. Di antara mereka, sudah ada yang menetap di tempat pengungsian ini selama tujuh tahun. “Jadi, kita sekarang menunggu apa yang akan diputuskan oleh Pemerintah Indonesia. Apa pun yang diputuskan nanti, pasti kita terima,” ungkapnya.
Selain pengungsi Rohingya di Belawan, juga ada warga Afghanistan sebanyak 51 orang, Myanmar (65 orang), Sri Lanka (delapan orang), Bangladesh (dua orang), Somalia (empat orang), Afrika (satu orang), dan Irak (satu orang).
Dari Dhaka, Bangladesh, relawan kemanusian yang tergabung dalam Medecins San Frontieres (MSF) kecewa dan mengecam larangan penghentian bantuan untuk pengungsi Muslim Rohingya. Menurut mereka, larangan dari Pemerintah Bangladesh itu akan menghancurkan hidup ratusan ribu pengungsi Rohingya yang ada di Provinsi Bazar Cox, Bangladesh.
Manejer MSF untuk Bangladesh Chris Lockyear mengaku terkejut dengan larangan Pemerintah Bangladesh itu. Ia menjelaskan, saat ini ada sekitar seratus ribu pengungsi Rohingya yang terkonsentrasi di Provinsi Bazar Cox. Bila benar Pemerintah Bangladesh melarang segala kegiatan bantuan sosial MSF, kata dia, Muslim Rohingya akan kehilangan akses pelayanan kesehatan dan berhadapan langsung dengan kematian dalam kemelaratan.
“Kami dipaksa untuk meninggalkan pasien kami (Muslim Rohingya) dan tidak memikirkan kehidupan mereka. Ini mengherankan. Kami berharap Pemerintah (Bangladesh) mempertimbangkan kembali perintah ini,” kata Chris, Ahad (5/8).
MSF adalah organisasi kemanusian yang beranggotakan para relawan medis. Kelompok ini sudah turun merawat pengungsi Rohingya di Bazar Cox sejak 1992. Kelompok yang berbasis di Swiss ini mencatat, 27 sampai 30 persen dari 5.000 etnis Rohingya yang tinggal di kamp Kutupalong Bazar Cox adalah anak-anak kekurangan gizi. “Konsekuensi dari keputusan ini akan berdampak buruk,” ujar Chris.