Jumat 10 Aug 2012 23:18 WIB

Kekerasan Berhenti, Tapi Ketegangan Masih Tinggi di Rakhine

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
Sebanyak 50 ribu jiwa pengungsi etnis Rohingya lari menyelamatkan diri dan tinggal di kamp pengungsi Baw Pha Du di Sittwe, Negara Bagian Rakhine, Myanmar, Rabu, (1/8).
Foto: Khin Maung Win/AP
Sebanyak 50 ribu jiwa pengungsi etnis Rohingya lari menyelamatkan diri dan tinggal di kamp pengungsi Baw Pha Du di Sittwe, Negara Bagian Rakhine, Myanmar, Rabu, (1/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kekerasan komunal yang terjadi di Negara Bagian Rakhine Myanmar berangsur berhenti. Pernyataan itu disampaikan direktur Human Right Watch, Phill Robertson. Namun, imbuhnya, ketegangangan kedua etnis yang bertikai masih sangat  tinggi.''Memang, kekerasan berakhir. Tapi dapat kembali muncul kapan saja,'' katanya.

Dia menjelaskan bahwa kekerasan yang dikabarkan menewaskan 78 orang tersebut, harus dipertanggungjawabkan oleh kedua pihak, yakni etnis Buddha Rakhine dan Muslim Rohingya. Yang memprihatinkan indikasi pembiaran pembantaian terhadap Muslim Rohingya, serta dukungan pihak keamanan pemerintah, dan Nasaka (Polisi Imigrasi) terhadap Buddha Rakhine, sangat kentara

''Orang-orang Rakhine (Arakan) didukung oleh penguasa,'' terangnya. Dalam presentasi yang ditampilkan di Universitas Indonesia (UI), Phil memaparkan, HRW telah berada di Rakhine sejak Juni 2012.

 

Kelompok itu melakukan wawancara sebanyak 57 kali kepada korban pertikaian tersebut. Hasilnya menunjukkan keberpihakan militer terhadap etnis Buddha Rakhine yang merupakan bagian rencana pemerintah setempat untuk mengusir Muslim Rohingya lantaran dikatakan ilegal.

"Pemerintah gagal menghentikan pembantaian dan perlindungan. Padahal pemerintah dapat menghentikan agar tidak meluas,'' ujarnya. Ketegangan yang masih tinggi di Myanmar, menurut Phil akan menimbulkan gelombang pengungsian baru ke negara-negara yang bersebelahan dengan Myanmar.

Saat ini ratusan perahu di Sungai Naf sudah bersiap karena  membaca situasi keamanan di Rakhine. Masalah Rohingya. menurut Phil, ialah kasus penting bagi Myanmar. Jika berhasil menyelesaikannya, maka ini menjadi salah satu tanda keberhasilan Myanmar yang tengah berproses di jalur demokrasi.

Tak ketinggalan Phill mengkritik pemimpin Liga Demokrasi Myanmar dan pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi, atas kengganan bersikap mengenai etnis minoritas di negaranya. "Dia (Suu Kyi) memiliki banyak banyak kesempatan untuk mengatakan sesuatu. Namun dia memilih tidak melakukan. Ini (mendukung Rohingya) kebijakan yang tidak populer,'' kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement