REPUBLIKA.CO.ID,MOSKOW - Gagalnya roket Rusia untuk mengorbitkan satelit milik Telkom membuat Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev geram. Menurutnya, kecorobohan atas kegagalan tersebut tidak dapat dibiarkan. Mereka yang bertanggung jawab atas kegagalan ini harus dihukum.
“Saya tidak mengetahui mengapa satelit itu bisa gagal diorbitkan, bisa karena pendorong, kerusakan mekanis, kelalaian bersama, atau gabungan dari semua persoalan ini. Tapi, ini tidak bisa ditoleransi lagi,” tegas Medvedev dalam pertemuan dengan jajaran pemerintahan, seperti dikutip Global Times.
Medvedev mengungkapkan, akibat kegagalan terakhir, Rusia kehilangan kredibilitas dan uang miliaran rubel. Ia akan menggelar pertemuan khusus seputar persoalan itu pekan depan. Medvedev meminta semua pejabat pemerintah mengevaluasi serangkaian kegagalan tersebut. “Mereka harus memberikan laporan rekomendasi, terkait siapa yang akan dikenakan sanksi, dan bagaimana selanjutnya,” ujarnya.
Satelit Telkom-3 diluncurkan pada Selasa (7/8) pukul 02.31 WIB dari Baikonur Cosmodrome di Kazakhstan, tapi diberitakan hilang karena gagal mencapai orbit. Satelit itu bernilai 200 juta dolar AS atau setara dengan 1,89 triliun. Pada Kamis (9/8), pesawat itu ditemukan melayang di ketinggian 5.014 km, jauh dari ketinggian mengorbit yang diharapkan mencapai 36 ribu km.
Telkom-3 merupakan satelit pertama yang dibeli Indonesia dari Moskow. Pembuatannya diprakarsai oleh ISS Reshetnev dengan peralatan komunikasi dari Prancis. Selain membawa Telkom-3, roket Proton-M Rusia juga gagal mengorbitkan satelit Express-MD2. Satelit Express-MD2 merupakan satelit komunikasi kecil yang dibuat oleh Perusahan Satelit Komunikasi Rusia.
Akibat kegagalan tersebut, semua peluncuran roket Proton M untuk sementara dihentikan terlebih dahulu sampai proses investigasi selesai. Ini merupakan kegagalan peluncuran pertama Rusia tahun ini. Dalam dua tahun terakhir, Rusia telah mengalami tiga kali kegagalan.
Kegagalan itulah yang membuat kemampuan Rusia untuk bersaing di dunia antariksa internasional dipertanyakan, bagaimana Rusia mampu bersaing dengan pesaingnya dari Eropa, roket Ariane.
Sebelumnya, kemampuan Rusia di dunia penerbangan juga dipertanyakan pascajatuhnya pesawat komersial Rusia, Sukhoi Superjet 100, di Gunung Salak, Bogor, awal Mei lalu. Peristiwa itu menewaskan seluruh penumpang pesawat yang berjumlah 46 orang.
Ironisnya, ketika itu Rusia sedang berusaha membangkitkan industri penerbangannya yang jauh kalah bersaing dari perusahaan lain, seperti Boeing milik Amerika. Rusia telah menuding jatuhnya pesawat Sukhoi tersebut merupakan kesalahan manusia.