Sabtu 11 Aug 2012 11:27 WIB

Konflik yang Tersisa Usai Revolusi Libya

Atap perumahan lokal kota kuno Ghadames. Para wanita biasa berjalan di atasnya alih-alih di jalan sebelum revolusi pecah
Foto: Aljazirah
Atap perumahan lokal kota kuno Ghadames. Para wanita biasa berjalan di atasnya alih-alih di jalan sebelum revolusi pecah

REPUBLIKA.CO.ID, DIRJ/GHADAMES -- Sejak kemenangan revolusi Libya, konflik masih terus beriak di kawasan kota tua Islami, Ghadames, di tepi Gurun Sahara.

Berada di sudut perbatasan antara Aljazair dan Tunisia, Ghadames ialah salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO dengan julukan 'Mutiara dari Gurun'. Turis dahulu berlalu-lang di kota kuno dengan jalanan dilapis pasir putih dan berkemah di bawah bintang.

Sejak 1970-an, penduduk meninggalkan hunian mereka di kota tua menuju perumahan baru, proyek Qaddafi yang berada di luar tembok kuno. Meski telah memiliki rumah baru, pemilik masih tetap kembali ke rumah tua mereka selama musim panas untuk mencari rezeki dari turis yang berlibur dan menghindari panas.

Penduduk Ghadames ialah campuran antara penduduk asli Ghadami yang sangat urban dan Tuareg yang semi-berpindah-pindah. Tuareg ialah pedagang kawasaan gurun dengan garis kesukuan merentang dari Aljazair, Nigeria, Mali dan Burkina-Faso.

Kedua etnis tadi ialah pemilik identitas Amazigh yang hampir dihancurkan lewat kampanye penyeragaman Arabisasi ala Qaddafi. Mereka tinggal berdampingan selama beberapa generasi, melakukan perdagangan lintas-perbatasan dan paling terkini, turisme.

Namun kekerasan tahun lalu telah mengubah situs kuno itu menjadi kota hantu menakutkan. "Sebelum revolusi kami semua hidup mudah di sini," ujar Abdullah Omana, pejabat urusan kesehatan yang kini bersama komunitas Tuareg, pindah ke Dirj. Kota terakhir ini terletak 100 kilometer lebih dari Ghadames.

Direketur masyarakat sipil da kebudayaan di Ghadames, Yakub Ibrahim Dawi berkata, "Saya dulu biasa menyebut tetangga tua Tuareg sebelah, guru. Kini ia tinggal di Dirj."

"Putranya terbunuh dan saya menyampaikan bela sungkawa. Padahal ia menentang Qaddafi sejak awal," ungkapny. "Masalah yang kami punya ialah mereka Tuareg dengan cap 'Wanted' (dicari)."

Ghadamsi menuduh Tuareg bersikap semena-mena dibawah Qaddafi. Sebalikya, Tuareg yang diperkirakan 30 persen dari 15 ribu penduduk Ghadames, mengklaim didiskriminasi di bawah rezim lama dan disalahpahami dan dipinggirkan sejak revolusi.

Kedua pihak dalam posisi menderita dan sakit dalam hal, tak semua Tuareg pro Qaddafi dan mengakui Ghadamsi memiliki pendukung dalam rezim lalu. Dalam kota itu pernah terjadi pertikaian kecil selama revolusi.

"Sejak awal Tuareg sudah meninggalkan kota ini." papar seorang aktivis masyarakat, Wafa el-Nass dari Tripoli yang terlibat dalam upaya rekonsiliasi. "Banyak warga Tuareg Libya tak memiliki indentifikasi dan Qaddafi dikenal rasis terhadap mereka."

Tapi saat revolusi, Qaddafi berubah sikap. Ia  berulang kali menjanjikan memberi kartu identitas kepada Tuareg Libya jika mereka mau berjuang untuknya.

sumber : Aljazirah
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement