REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL – Presiden Korea Selatan, Lee Myung-bak, mengeluarkan permintaan terbarunya agar Jepang bertanggung jawab atas perbudakan seks pada masa perang lebih dari tujuh dekade lalu.
Sentimen Korsel terhadap Jepang terus berkembang di tengah meningkatnya sengketa wilayah antara kedua negara.
Dalam sebuah pidato pada upacara peringatan 67 tahun berakhirnya kolonialisme Jepang di Korsel, Rabu(15/8), Lee memperingatkan bahwa konflik atas sejarah pahit memperumit hubungan Korsel dengan mantan penguasa kolonialnya itu.
Ia mendesak Tokyo menyelesaikan sengketa emosional soal perempuan Korsel yang menjadi korban perbudakan seks tentara Jepang tersebut. "Itu adalah pelanggaran hak-hak perempuan yang dilakukan selama masa perang, serta pelanggaran terhadap HAM dan keadilan sejarah yang universal," kata Lee.
Ia menambahkan, pihaknya mendesak pemerintah Jepang untuk mengambil tindakan bertanggung jawab. Walau demikian, Lee menyebut Jepang sebagai mitra penting. "Kita harus bekerja bersama (Jepang) untuk membuka masa depan," ujarnya.
Namun dalam sambutannya itu, ia juga mengatakan sejarah buruk bangsa adalah penghambat perjalanan menuju hari esok yang lebih baik.
Sementara itu, Jepang berpendirian bahwa masalah tersebut telah ditutup di bawah sebuah perjanjian 1965 yang membangun hubungan diplomatik antara keduanya. Tahun 1993, Tokyo mengeluarkan pernyataan atas nama kepala sekretaris kabinet kala itu, dan dua tahun kemudian menyiapkan dana untuk diberikan kepada para perempuan korban penculikan tersebut.