Kamis 16 Aug 2012 01:10 WIB

Sittwe Rata dengan Tanah, Warga tak Boleh Pulang

Rep: Devi Anggraini Oktavika/ Red: M Irwan Ariefyanto
Seorang tentara Myanmar tengah berjaga di bangunan yang rusak di Sittwe, ibukota Rakhine negara di barat Myanmar.
Foto: AP Photo
Seorang tentara Myanmar tengah berjaga di bangunan yang rusak di Sittwe, ibukota Rakhine negara di barat Myanmar.

REPUBLIKA.CO.ID,RAKHINE -- Kurang dari sepekan menuju Idul Fitri, kenyataan pahit harus ditelan Muslim Rohingya di Kota Sittwe, di Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Kota ini menderita akibat kerusuhan etnis dan agama antara warga Buddha Rakhine versus Muslim Rohingya. Satu laporan terbaru dari Channel 4News Inggris, yang berhasil masuk ke Sittwe, mengungkapkan, wilayah permukiman Muslim di kota itu sudah rata dengan tanah. Habis terbakar.

Channel 4News mendokumentasikan sebuah area yang hancur dan hanya menyisakan puing. Daerah tersebut diketahui pernah menjadi rumah bagi 10 ribu warga Burma. Sebulan lalu, Sittwe adalah rumah bagi dua kelompok etnis Buddha Rakhine dan Muslim Rohingya hingga kerusuhan mengoyak-ngoyak kota itu dan membuat ribuan Muslim Rohingya terlempar ke pengungsian dengan kondisi melarat.

Kamp pengungsi, menurut laporan Channel 4News, dijaga ketat tentara. Kamp dibangun di atas padang rumput yang basah di antara sawah-sawah. “Ketika mobil kami berhenti di kamp, kami dikelilingi orang-orang yang terlihat putus asa. Yang dewasa tampak kurus. Banyak anak kecil terlihat jelas kekurangan gizi,” demikian seperti dikutip Channel 4News, Selasa (14/8).

Seorang ibu bersama tiga anaknya yang diwawancarai mengatakan, mereka bertahan hidup di pengungsian dengan memakan beras dan kacang-kacangan. "Ini tidak cukup," katanya seraya mengeluhkan keluarganya, bahkan tak memiliki selimut. Para pengungsi juga mengeluhkan ketiadaan harta benda. "Kami tidak punya pekerjaan dan anak-anak kami tidak dapat bekerja. Saya datang ke sini hanya dengan tangan kosong. Tanpa uang, tanpa apa pun," ujar salah seorang pengungsi perempuan mengeluh.

Seorang pemuda yang sudah menyerah hidup di Myanmar mengutarakan niatnya pergi ke Bangladesh. "Kami sangat menderita di sini," katanya. Hal yang ia tidak tahu adalah di perbatasan Myanmar-Bangladesh pun pintu ke negara tetangga itu sudah tertutup rapat. Bangladesh tak lagi menampung warga Rohingya.

PBB menyebut Rohingya sebagai salah satu etnis yang paling teraniaya di dunia. Mereka dikenakan pembatasan perkawinan, hak bekerja, dan pendidikan. Kewarganegaraan mereka bahkan ditolak pada 1982 oleh Pemerintah Myanmar. "Kini, Sittwe terlarang, di mana bekas penduduknya tidak mungkin kembali pulang," ujar laporan itu.

Kecemburuan sosial jelas masih membara di Sittwe. Banyaknya perhatian yang tertuju pada Muslim Rohingya membuat etnis Buddha Rakhine tak senang. Menurut mereka, lembaga bantuan dan PBB selalu pilih kasih menangani pengungsi. Namun, hal ini dibantah oleh pegiat kemanusiaan di Myanmar. Mereka mengatakan, pengiriman bantuan ke daerah konflik Rohingya sudah tepat sesuai prioritas yang membutuhkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement