Sabtu 18 Aug 2012 09:18 WIB

Myanmar Bentuk Komisi Penyelidikan Konflik di Rakhine

Pengungsi etnis Rohingya di kamp pengungsi Baw Pha Du di Sittwe, Negara Bagian Rakhine, Myanmar, Rabu, (1/8).
Foto: Khin Maung Win/AP
Pengungsi etnis Rohingya di kamp pengungsi Baw Pha Du di Sittwe, Negara Bagian Rakhine, Myanmar, Rabu, (1/8).

REPUBLIKA.CO.ID,  YANGON -- Pemerintah Myanmar membentuk satu komisi penyelidikan 27 anggota, yang ditujukan untuk mengungkap penyebab sesungguhnya konflik di negara bagian Rakhine barat pada Mei-Juni, yang menggerogoti stabilitas dan aturan hukum di wilayah tersebut.

Menurut perintah yang dikeluarkan oleh Kantor Presiden, komisi yang terdiri dari satu lingkaran yang luas dipimpin oleh Dr Myo Myint, direktur umum pensiunan dari Departemen Agama.

Para anggota komisi termasuk biksu, para pemimpin dari empat organisasi keagamaan (Islam, Hindu, Budha dan Kristen), selain pengusaha, penulis, ekonom dan artis serta pemimpin lima partai politik dan 88-Generasi Kelompok Siswa.

Lima partai politik termasuk Liga Nasionalitas Shan untuk Demokrasi, Partai Demokrat-Myanmar, Kekuatan Demokratik Nasional, Partai Nasionalitas Demokrat Rakhine serta Liga Rakhine untuk Demokrasi.

Komisi ini bertugas untuk mengajukan proposal guna mengakhiri konflik, mencari tahu cara untuk hidup berdampingan secara damai antara kelompok agama yang berbeda, aturan hukum dan sosial-ekonomi.

Komisi itu dijadwalkan untuk menyajikan laporannya pada 17 September, menurut surat perintah yang ditandatangani oleh Presiden U Thein Sein.

Kerusuhan dan kekerasan mematikan di negara bagian Rakhine dimulai dengan pembunuhan seorang wanita etnis Rakhine oleh tiga orang Bengali di desa Kyauknimaw pada akhir Mei, dan pembunuhan terhadap 10 Muslim oleh massa di Taunggup memprovokasi kerusuhan.

Hal itu meningkat menjadi kondisi anarkis sejak Juni 8 pada saat pembunuhan dan serangan pembakaran menyebar dari Maugtaw Buthidaung dan Sittway, memaksa pemerintah negara bagian untuk menerapkan jam malam di enam yang terkena kerusuhan, yaitu Maugtaw, Buthidaung, Sittway, Kyaukpyu, Yanbye dan Thandwe. Keadaan darurat diumumkan pada 10 Juni.

Seperti kerusuhan yang baru terjadi di Kyauktaw pada 8 Agustus, kawasan itu juga dikenakan jam malam, sehingga jumlah daerah yang ditempatkan di bawah jam malam di negara bagian Rakhine menjadi tujuh.

Sejak 8 Juni pada saat kejadian di Kyauktaw, semuanya 90 orang tewas, 116 orang terluka dan lebih dari 65.000 orang menjadi korban, menurut angka resmi terbaru.

Sebanyak 4.822 rumah, 17 masjid, 15 biara dan tiga sekolah dibakar.

Pemerintah Myanmar mengklaim bahwa ada berbagai upaya untuk memulihkan keadaan menjadi normal.

Pemerintah, dalam pernyataan pers terakhir, juga menjelaskan bahwa korban kekerasan baik dari komunitas Buddha dan Muslim, mengatakan bahwa kerusuhan itu tidak terkait dengan penganiayaan agama.

Pernyataan itu menolak upaya oleh beberapa "pihak" untuk mempolitisasi dan menginternasionalisasi situasi sebagai isu agama, dan menegaskan bahwa insiden Rakhine bukanlah karena penindasan agama atau diskriminasi.

Pemerintah telah mengambil tindakan hukum kepada para pelaku yang terlibat dalam tindakan pelanggaran hukum dan anarkis, kata pernyataan tersebut menambahkan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement