REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat ini seorang relawan kemanusian yang tergabung dalam kelompok Aksi Cepat Tanggap (ACT), Andhika Purbo Swasono, sudah hampir sebulan berada di pintu perbatasan antara Bangladesh dan Myanmar. Keberadaan relawan tersebut, tidak lain adalah untuk melakukan aksi perbantuan bagi 80 ribu pengungi Rohingya.
Namun, katanya, aksi perbantuan tersebut tidak dapat disalurkan dengan lancar. Pasalnya sejak pecah konflik komunal antara etnis Buddha Arakan dan Muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Pemerintah Bangladesh menutup pintu perbantuan asing, sebab dikhawatirkan akan memicu gelombang pengungsian ke negara tersebut.
Pemerintah Bangladesh-pun sempat mengusir tiga organisasi nonpemerintah (NGO) asing yang sejak lama mengurusi para pengungsi. ''Kami harus sembunyi-sembunyi untuk menyalurkan bantuan kepada pengungsi,'' kata Andhika beberapa waktu lalu.
Dalam waktu dekat, ACT kembali akan memberangkatkan satu tim relawan kemanusian, yaitu satu ahli psikoterapi, satu ahli medis, observer dan seorang wartawan. Rencananya, tim kedua ACT ini akan menembus zona konflik, Rakhine. Namun izin masuk dari pemerintah Bangladesh tak kunjung turun.