Rabu 22 Aug 2012 22:11 WIB

Inilah Suasana Idul Fitri di Negeri yang Dilanda Konflik

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Heri Ruslan
 Perdana Menteri Palestina di Gaza, Ismail Haniya, saat menyampaikan khutbah Idul Fitri.
Foto: Dok MER-C Gaza
Perdana Menteri Palestina di Gaza, Ismail Haniya, saat menyampaikan khutbah Idul Fitri.

REPUBLIKA.CO.ID, Keadaan tidak menentu menyertai perayaan Idul Fitri bagi muslim di kawasan tertentu.

Di Jalur Gaza, Palestina, bukan hanya pengepungan sepihak Zionis Israel terhadap 1,3 juta penduduk Gaza, penutupan perbatasan Raffah di Mesir semakin mengisolir kawasan konflik tersebut.

Sejak 2007 Hamas menguasai wilayah itu, kedekatan Ismail Haniya pemimpin kelompok tersebut dengan Presiden Mesir Muhammad Mursi tidak membuat penduduk Palestina bebas melewatinya.

Mesir memberlakukan peraturan ketat di sana, termasuk untuk hal barang dan kebutuhan pangan.Peraturan tersebut memupuskan pedagang untuk memanfaatkan akhir Ramadhan sebagai hari meraup keuntungan.

Kesempatan baik itu biasanya menjelang perayaan, mereka menjual pakaian dan pangan bagi wisatawan. Sebab berdagang adalah cara utama bertahan hidup dari kemiskinan yang semakin akrab.

''Tapi tahun ini toko penuh dengan orang-orang yang menonton dagangan saya. Mereka menawar lalu pergi tanpa membeli,'' kata seorang pedagang al-Shurafa, seperti dikutip xin Hua, Jumat (17/8).

Masyarakat di Gaza seakan putus asa dan kehilangan makna hari suci. Kebutuhan untuk hidup menjadi lebih penting ketimbang perayaan yang penuh seremoni. Mereka mempertanyakan bagaimana hendak merayakannya, sementara kebuntuan politik internasional, membuat jutaan muslim tidak dapat mempersiapkan perayaan hari penuh maaf itu.

Bocah 12 tahun Ahmad Hussain mengaku tidak mengerti mengapa dirinya tak merayakan takbiran. Kata dia, tidak lagi ada waktu untuk menikmati Idul Fitri bersama empat adiknya, bersama ibu, dan ayahnya yang seorang buruh mingguan. Menurut dia, tenanganya adalah sumber penghasilan utama bagi keluarga.Kondisi serupa, memaksa anak-anak lain di Gaza membantu orang tua mereka dengan berjualan permen, aksesoris dan pernaik-pernik di al-Saha Square, sebuah pasar di pinggiran Jalur Gaza.

"Saya benar-benar tidak ingat kapan terakhir merayakannya (Idul Fitri),'' ujar Ahmad, seperti dikutip gulfnews, Ahad (19/8).Perayaan Idul Fitri yang tak menentu juga dialami warga Suriah. Berada ditengah perang saudara, ribuan sipil terancam hidupnya, dan tak khidmat merayakan Idul Fitri.

Di hari suci itu bukan tradisi maaf yang terjadi, pertumpahan darah masih terus berlangsung.Sedikitnya dikatakan 157 orang tewas di seluruh negeri, 51 orang di Provinsi Deraa, 47 di pinggiran Kota Damaskus.

Tragis dialami sebuah keluarga, sebab saat sedang berkumpul merayakan Idul Fitri, enam orang saudara kandung seumuran Ahmad Hussain, menjadi korban kontak senjata antara tentara pemerintah dan kelompok oposisi di Provinsi Idib, tepatnya di Kota Maarat al-Numan.

''Tidak ada Idul Fitri, tidak ada,'' kata Mohammed Radwan, seperti dikutip Aljazeera, Senin (20/8). Dia mengatakan saat petang menjelang takbir, jaringan listrik tidak menentu. Dia yang tinggal di kawasan Tariq al-Bab, Aleppo juga harus merelakan rumah tinggalnya rata dengan tanah akibat serangan udara tentara Suriah, di siang hari terkahir Ramadhan. Tidak ada jaminan keamanan bagi sipil di Suriah. Tradisi ziarah kubur ke makam leluhur usai shalat Ied juga tak lagi dilakukan.

sumber : Aljazeera/Xin Hua/gulfnews
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement