Jumat 24 Aug 2012 16:16 WIB

AIPMC: PBB Diminta Bentuk Tim Investigasi Kasus Rohingya

Politisi PDIP yang juga Ketua AIPMC, Eva Kusuma Sundari (kiri)
Foto: antara
Politisi PDIP yang juga Ketua AIPMC, Eva Kusuma Sundari (kiri)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asean Inter-Parliamentary Myanmar Caucus (AIPMC) menyesalkan kekerasan yang masih berlanjut secara intensif terhadap masyarakat Rohingya di Arakan, di Myanmar. AIPMC mendapatkan informasi dari laporan ARNO (perwakilan Rohingya di London), Kamis (23/8). Laporan itu menyebutkan adanya kekerasan simbolik yang meniadakan hak mereka sebagai warga negara Myanmar.

Laporan itu juga menyebutkan, adanya kekerasan dalam pelarangan hak beribadah serta merayakan Idul Fitri (menjalankan shalat Ied dan shalat 5 waktu) di masjid-masjid. Selain menutup puluhan masjid di Arakan, Pemerintah Myanmar juga membiarkan pembakaran masjid Tha Yae Kone Tan dan madrassah Lambagona di Kota Maungdaw, dan kekerasan lainnya.

Pemerintah Myanmar melakukan pembiaran terhadap aparat keamanan, terutama polisi dan AD yang aktif melakukan kekerasan. "Sinyalemen ini sejalan dan merupakan penguatan atas sikap Presiden Than Shein yang meminta PBB menyediakan penampungan sementara untuk pengungsi Rohingya hingga didapat negara ketiga yang bersedia menampung mereka," kata Eva Kusuma Sundari, ketua AIPMC, dalam pernyataannya, Jumat (24/8).

Berdasar peran aparat negara dan sikap resmi pemerintah, kata dia, maka tidak mungkin dunia mengharap penyelesaian dan tindakan yang adil dari Pemerintah Myanmar atas kasus Rohingya. "Oleh karenanya, AIPMC kembali menyerukan penghentian kekerasan terhadap suku Rohingya dan menuntut PBB untuk membentuk Tim Independent unt menginvestigasi situasi di Arakan."

AIPMC juga mendesak Pemerintah RI dan ASEAN untuk bertindak proaktif bagi penyelesaian kasus Rohingya sesuai prinsip-prinsip HAM. AIPMC juga meminta perhatian khusus Pemerintah Amerika dan Eropa untuk mengintegrasikan penegakkan HAM suku Rohingya di saat gencar menanamkan investasi di Myanmar.

Semua langkah itu juga merupakan desakan AIPMC kepada semua pihak terkait. Hal ini mendesak, kata Eva, mengingat jumlah korban yang mati dan hilang sudah mencapai tiga ribuan (ARNO), meski angka resmi Pemerintah Myanmar adalah 87 korban meninggal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement