REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Pemimpin Organisasi Kerja sama Islam (OKI) berencana kembali menerapkan Perjanjian Makkah untuk mengatasi konflik sektarian di sejumlah negara Islam. Inisiatif itu nantinya dieksploitasikan untuk kepentingan politik di Timur Tengah.
Sekretaris Jenderal OKI, Ekmeleddin Ihsanoglu, mengatakan, inisiatif itu juga bertujuan menyatukan perpecahan antar golongan di negara-negara muslim serta menggalang persatuan di negara-negara anggota (OKI). Badan antar-pemerintah terbesar kedua setelah PBB itu mengumumkannya pada Selasa (28/8) kemarin.
"Kami bicara tentang divisi (konflik sektarian). Selama pertemuan mendesak di Makkah dua minggu lalu, kami sepakat menerapkan kembali perjanjian konsesus pada 2006, saat mengatasi konflik antar-golongan di Irak," kata Ihsanoglu di Ankara, Turki, dikutip Todays Zaman, Rabu (29/8).
Ia menjelaskan, ada 10 poin kesepakatan yang didapat dari faksi-faksi Muslim Syiah dengan Sunni di Irak. Di antara kesepakatan itu berisi untuk menyudahi pertumpahan darah dan kekerasan akibat konflik antargolongan tersebut. Perjanjian yang ditandatangani enam tahun silam itu resmi di bawah naungan OKI.
Pada perjanjian tersebut juga terdapat kesepakatan menjaga tempat-tempat suci atau rumah ibadah Muslim Sunni maupun Syiah, serta menjaga keutuhan teritori Irak. Perjanjian itu pun terbukti menstabilkan kondisi konflik sektarian yang terjadi di negara tersebut.
Ihsanoglu mengatakan, Perjanjian Makkah nantinya diterapkan untuk mengatasi konflik sektarian yang belakangan terjadi di beberapa negara berbeda. Perjanjian yang dinaungi OKI itu, kata dia, bersertifikasi sah, baik untuk Muslim Sunni maupun Syiah dalam Islam. Nantinya akan menjadi referensi bagi sejarah untuk membangun konsensus di 57 negara anggota OKI.