REPUBLIKA.CO.ID, LIMA -- Pemerintah Peru tidak akan memperpanjang keadaan darurat yang berlaku di tiga provinsi utara negara tersebut. Itu dinyatakan Presiden Peru Ollanta Humala setelah petani melakukan protes dan penolakan terhadap proyek pertambangan emas, yang berujung dengan aksi kekerasan.
''Keadaan darurat akan berakhir saat Ahad,'' kata Humala seperti dilansir ABCNews, Ahad (2/9). Akan tetapi kata Humala, pasukan militer dan keamanan, tetap disiagakan untuk melakukan pengamanan dan pengawasan di areal pertambangan tersebut. Hal itu dimaksudkan untuk mengantisipasi adanya perlawanan susulan pascakerusuhan.
Dalam beberapa bulan terakhir, lima orang telah tewas dalam aksi protes yang dilakukan para petani Peru terhadap tambang milik perusahaan asing, Newmont Minning Coorporatian tersebut. Petani menganggap kegiatan pertambangan yang dikelola oleh perusahaan pertambangan Conga tersebut hanya akan menyusahkan kalangan petani di sekitar areal tambang.
Pasalnya, aktivitas pertambangan tersebut diyakini pemrotes akan mengganggu sistem irigasi. Sebab, di lahan setinggi 3.700 meter di atas permukaan lau (dpl) tersebut, terdapat sumber air (danau) yang menjadi kantung air bagi petani di bawah perbukitan tersebut. Lagi-pun masyarakat sekitar mempertanyakan perihal izin pengelolaan limbah, dan standar dampak lingkungan dari aktivitas pertambangan.
Sejak 2011 petani dan masyarakat sekitar telah melakukan aksi penolakan, yang berujung pada kerusuhan. Pemerintah-pun melakukan langkah represif dan menetapkan status darurat militer untuk meredam aksi protes itu. Status darurat militer ditetapkan di tiga provinsi, seperti di Provinsi Celendin, Cajamarca, and Bambamarca.
Tidak cukup dengan menetapkan status darurat, pemerintah juga memberangus semua serikat pekerja dan petani yang menolak adanya aktivitas pertambangan, serta membekukan hak berkumpul juga kebebasan bagi sipil lainnya. Negosiator dalam persoalan ini telah meminta kepada militer setempat untuk tidak memperpanjang masa darurat.