Senin 03 Sep 2012 12:42 WIB

Surat dari Muslim Rohingya

Rep: Muhammad Hafil/ Red: Dewi Mardiani
Ketua Umum PMI Jusuf Kalla (kanan) berbincang dengan tim PMI yang akan berangkat membawa bantuan kemanusiaan untuk korban konflik Rohingya di Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur, Sabtu (25/8).
Foto: Antara/Saptono
Ketua Umum PMI Jusuf Kalla (kanan) berbincang dengan tim PMI yang akan berangkat membawa bantuan kemanusiaan untuk korban konflik Rohingya di Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur, Sabtu (25/8).

REPUBLIKA.CO.ID, SITTWE -- Berbagai macam cara dilakukan oleh komunitas muslim Rohingya di Myanmar untuk mengabarkan kepada dunia tentang kondisi mereka. Mulai dari gerakan rahasia di Kota Yangon, bekas kota Myanmar, hingga menyampaikan surat kepada orang asing yang mendatangi tempat penampungan pengungsi di Negara Bagian Rakhine.

Tim relawan Palang Merah Indonesia (PMI) sebanyak enam orang, Jumat (31/8), mendapat kesempatan untuk mengunjungi salah satu tempat penampungan pengungsi di kawasan Kaung Dok Ja, Kota Sittwe, Negara Bagian Rakhine, pusat konflik antara etnis muslim Rohingya dengan etnis Buddha Rakhine. PMI mendapatkan izin dari pemerintah Myanmar untuk memberikan bantuan secara resmi kepada mereka.

Sambutan yang baik diberikan oleh para pengungsi saat tim PMI yang dikawal oleh pihak keamanan setempat tiba di tempat pengungsian. Mereka keluar dari tenda-tenda pengungsian untuk menyambut kedatangan tim. Jumlah mereka di tempat pengungsian itu, berdasarkan data resmi Myanmar Red Cross Society (MRCS) atau Palang Merah Myanmar, sebanyak 275 kepala keluarga dengan jumlah total 1.363 jiwa.

Mereka mendatangi anggota PMI dan mengucapkan salam 'Assalamualaikum' kepada para relawan. Kemana pun relawan anggota PMI bergerak, para pengungsi itu selalu membuntuti. Para relawan PMI juga selalu didampingi pihak keamanan dan beberapa orang Myanmar berpakaian bebas.

Saat salah seorang relawan PMI berbincang dengan seorang pengungsi dalam bahasa Inggris dan terlambat diketahui pihak keamanan, menanyakan bahasa yang digunakan. "Apakah kalian berbicara dalam bahasa yang sama?" kata seorang di antara mereka penuh selidik dalam bahasa Inggris. "Tidak, kami menggunakan bahasa Inggris," jawab salah seorang relawan PMI.

Salah seorang relawan PMI itu sempat mendapatkan titipan dari salah seorang pengungsi, seorang pemuda berusia 30-an tahun secara sembunyi-sembunyi. Pemuda itu pun langsung melarikan diri dan bergabung dengan ribuan pengungsi lainnya.

Setelah keluar dari tempat pengungsian, ia memberitahukan kepada relawan lainnya bahwa ia mendapatkan titipan dari pengungsi itu. Titipan itu berupa secarik kertas usang seukuran buku tulis yang dilipat sangat kecil. Setelah dibuka, ada tulisan dengan tinta berwarna biru berbahasa Inggris.

Bunyi surat itu adalah: "It has been so long that we have not got any change. we are looking forward to getting our own freedom. are not we human beings? although the world is at peace, why are we full of stress? we are not refugees..." (selanjutnya tak jelas bentuk tulisannya).

"Jika diartikan dalam bahasa Indonesia: Sudah begitu lama kita tak mendapat perubahan. Kami berharap untuk mendapatkan kebebasan kita sendiri. Bukankah kita juga manusia? Meskipun dunia ini damai, tapi mengapa kami mendapat tekanan? Kita bukan pengungsi."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement