REPUBLIKA.CO.ID, ULAANBAATAR – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berbagi pengalaman pengembangan demokrasi. “Demokrasi adalah topik yng melekat di hati saya,” katanya, Rabu (6/9).
Dalam kunjungannya ke Mongolia, Presiden diberi kesempatan untuk berdialog dengan tokoh masyarakat dan aktivis LSM di Mongolia. Menurutnya, topik itu dekat di hatinya karena ia adalah presiden indonesia yang pertama yang dipilih secara langsung oleh rakyat.
“Saya tidak mengklaim sendirian bahwa reformasi dan demokratisasi di Indonesia adalah milik saya. Ini adalah prestasi seluruh rakyat Indonesia,” katanya. Ini merupakan buah dari perjuangan berkelanjutan untuk membuat Indonesia lebih baik.
Krisis keuangan 1997, katanya, membuat sebagian masyarakat Indonesia memprediksi bahwa Indonesia akan mengalami balkanisasi seperti Yugoslavia yang terpecah menjadi beberapa negara. Tapi setelah 14 tahun, katanya, Indonesia kembali seperti sebelum 1998. “Kondisi sosial politik dan ekonomi Indonesia saat ini lebih baik dari sebelum krisis,” katanya.
Indonesia kini menjadi negara terbesar ketiga di dunia yang mengembangkan demokrasi. Indonesia terdiri atas 17.508 pulau, 1.128 etnik, dan 746 bahasa dan dialek. Selain itu, sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, katanya, tapi menjamin agama lain berkembang sebagai bagian integral kebangsaan Indonesia.
“Indonesia menjadi ibukota pemilu di dunia,” katanya. Membangun demokrasi yang matang bukan sekadar adanya pemilu. Tapi juga harus ada upaya sistematik melindungi HAM, termasuk toleransi dan penegakan hukum. Publik juga membutuhkan ruang politik dan partisipasi, pemerintahan yang efektif untuk mendukung cicil society.
Abad ke-21 ditandai oleh tumbuhnya sosial media. “Di mana aspirasi individual menjadi lebih potensial dibanding apapun. Arab Spring menjadi bukti kekuatan masyarakat awam untuk melakukan perubahan, hanya bersenjatakan Facebook, Twitter, dan smartphone,” katanya. Karena itu, ia mengingatkan bahwa kita harus bergerak maju seiring angin perubahan ini. “Tiap pemerintahan bisa saja membuat respon yang berbeda terhadap aspirasi rakyatnya, tapi tetap harus ada respon,” katanya.
Sebagai contoh, SBY mengungkapkan bahwa pihaknya membuat PO BOX, email, dan sms untuk menampung aspirasi masyarakat. “Ini cara yang bagus untuk menangkap aspirasi publik, dan untuk mengukur sentimen negatif maupun positif,” katanya.
Pada tahun-tahun terakhir ini, katanya, Indonesia dan Mongolia mendapat julukan sebagai juara kampiun demokrasi. “Ini menunjukkan upaya tak kenal lelah kita mempromosikan demokrasi,” katanya. SBY memuji kemajuan demokrasi di Mongolia yang telah membangkitkan antusiasme dan optimisme. Apalagi kemajuan demokrasi itu bergerak seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang mencapai 17,3 persen.
Pada sisi lain, Indonesia setiap tahun menyelenggarakan Forum Demokrasi Bali sejak 2008. Forum ini telah menjadi forum antar-pemerintah yang terbesar tentang demokrasi di Asia. Untuk mewujudkan tujuan forum itu, melalui Institut untuk Perdamaian dan Demokrasi, telah dilakukan beragam kegiatan seperti Eelection Visit Program di Jepang dan Thailand. “Juga workshop di Mesir,” katanya.
Forum yang semula diikuti 39 negara, pada tahun lalu diikuti 82 negara. PM Mongolia juga ikut hadir pada tahun lalu. Karena itu, ia mengundang Presiden Mongolia untuk hadir pada tahun ini.
Meskipun prinsip utama demokrasi berlaku universal, kata SBY, kita tak bisa mengabaikan karakteristik dan nilai-nilai lokal. “Ini esensi demokrasi yang harus kita rawat dan promosikan,” katanya.