REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Moh Jumhur Hidayat, mengharapkan forum pertemuan tingkat tinggi para pemimpin APEC (Asia Pasific Economic Cooperation) di Vladivostok, Rusia pada 8-9 September ini, dapat menyentuh kesepakatan penting untuk mengubah kebijakan rezim imigrasi konservatif di negara-negara maju khususnya Eropa, agar membuka diri menerima konsep migrasi tenaga kerja asing (TKA) sebagai keniscayaan internasional tak terbantahkan saat ini.
"Negara-negara di Eropa masih banyak yang menerapkan pola dan semangat rezim imigrasi konservatif, dengan menolak masuknya TKA dari luar Eropa guna bekerja di kawasan tersebut," ujar Jumhur, saat menyampaikan "Pidato Kebangsaan" dalam halal bihalal dan silaturahmi kepemudaan yang diadakan Perhimpunan Organisasi Kepemudaan Nasional (POKNAS) di Jakarta, Jumat (7/9) malam.
Acara itu dibuka Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alfian Mallarangeng, serta dihadiri sejumlah ormas kepemudaan tingkat pusat dan perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa yang ada di Jakarta.
Menurutnya, sikap konservatif imigrasi yang dianut negara-negara Eropa dalam mempersulit kehadiran TKA itu, akan memperlambat arah peningkatan ekonomi secara lebih produktif di negaranya sendiri.
"Tingkat pertumbuhan orangtua yang cukup lama usianya dan terus membesar angkanya di negara-negara Eropa, otomatis berakibat lambannya mesin-mesin produksi bekerja karena ketersediaan basis tenaga kerja produktif yang tidak memadai, sehingga menjadi penghalang kemajuan ekonomi pada negara-negara Eropa," jelasnya.
Padahal, menurut Jumhur, dengan tingginya jumlah lanjut usia dan perlunya mesin-mesin industri negara maju dikerjakan oleh para TKA, tentu membawa dampak keberkahan untuk masyarakat dan negara yang mempekerjakan TKA.
Sementara bagi yang berciri progresif terhadap kehadiran TKA pada sejumlah negara Asia termasuk Amerika Serikat, dipastikan pertumbuhan ekonominya jauh melenggang pesat akibat pilihan ketersediaan tenaga kerja yang beragam serta mencukupi.
"Karena itu, pertemuan APEC menjadi tidak valid tanpa mengangkat ketidakadilan hambatan migrasi ketenagakerjaan asing ke negara-negara Eropa," tegas Jumhur.
Apalagi, tambahnya, dengan asumsi memperkuat kemajuan dan kesejahteraan negara-negara di Asia Pasifik, maka penghapusan hambatan itu dirasakan mutlak.
Diakui Jumhur, produktivitas agregat dunia bisa terjadi bila halangan dalam migrasi tenaga kerja internasional dihilangkan secara bertahap, dengan memberlakukan rezim imigrasi yang progresif.
"Sebaliknya, dunia akan merugi secara agregat pula karena terjadi stagnasi ekonomi di banyak negara atas berkembangnya kebijakan menghalangi TKA," ujarnya.
Lebih jauh disebutkan, ketidakmauan negara-negara maju terkait penerimaan TKA dapat membuatnya mundur ke belakang. Dengan demikian, tidak mustahil kemajuaannya disusul oleh negara-negara berkembang yang berorientasi pada penciptaan pasar TKA dan berhasil tumbuh sebagai negara yang semakin kuat.
Ia mencontohkan, negara Amerika Serikat, Korea Selatan, Malaysia, dan belakangan diikuti Jepang, merupakan fenomena negara yang terbuka kebijakan imigrasinya bagi TKA baik semiterampil, terampil, ataupun profesional.
"Korsel dan Malaysia dapat dikatakan maju karena adanya TKA terlatih dari Indonesia. Namun demikian, persoalan TKI informal PLRT tidak berarti kita lupakan kemartabatannya," katanya.
Ia menjelaskan, ada sekitar 40 ribu Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di Korea Selatan dengan gaji minimum Rp 8,5 juta per bulan. Hal yang sama ditemui banyak TKI profesional bergaji Rp 50-Rp100 juta pada sektor industri strategis di Malaysia.
Sedangkan Jepang, sejak 2008 sudah membuka pintu untuk masuknya TKI Perawat orangtua jompo yang dipekerjakan di berbagai rumahsakit dan rumah penampungan di seluruh Jepang.
Para pemimpin Jepang, lanjutnya, memiliki kesadaran bahwa jumlah lanjut usia di negara itu sudah cukup banyak dan pemerintah harus mendatangkan TKA di antaranya TKI, untuk bertugas merawat lansia lantaran tenaga perwatnya yang memang terbatas.
"Di Jepang terdapat 40 ribu orang yang usianya lebih dari 100 tahun. Mereka tidak bisa apa-apa kecuali berada dalam perawatan TKI," ungkapnya.