REPUBLIKA.CO.ID, LOMBOK --- Parlemen Myanmar menyatakan bahwa kerusuhan yang terkait dengan etnis Rohingya di negara itu beberapa waktu lalu bukan merupakan konflik keagamaan, tetapi konflik dua kelompok yang berawal dari kasus pidana.
Demikian penegasan Parlemen Myanmar dalam sidang pleno pertama Inter-Parlemen Asia Tenggara (AIPA) ke-33 yang berlangsung di Senggigi, Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), Selasa.
Delegasi Parlemen Myanmar secara khusus menjelaskan kronologi kasus kekerasan di negara itu dengan menyatakan bahwa pemerintah telah menjalin kesepakatan perdamaian 10 kelompok. Namun dengan satu kelompok di wilayah utara negeri itu belum dicapai kesepakatan sehingga terus dilakukan.
Dalam pemaparannya, delegasi Parlemen Myanmar menyatakan bahwa ada kesalahpahaman dalam mencermati kasus itu. Padahal kasus ini sebenarnya bermula dari pembunuhan dengan pelaku tiga orang.
Aksi itu memicu terjadi penyerangan terhadap sebuah bus dan menewaskan tiga orang. Pemerintah dan angkatan bersenjata telah memulihkan situasi dan sedang dilakukan rehabilitasi terhadap kerusakan.
Menurut Parlemen Myanmar, konflik itu telah mengakibatkan 90 orang tewas dan ribuan rumah dibakar. "Tetapi itu bukan konflik agama, hanya konflik antardua kelompok," demikian pernyataan Parlemen Myanmar.
Delegasi Parlemen Myanmar juga menyatakan, angka meninggal yang diinformasikan kepada masyarakat internasional melalui internet dibesar-besarkan. Begitu juga angka rumah yang dibakar dilebih-lebihkan.
Menurut Parlemen Myanmar dalam sidang itu, bukan hanya angka korban meninggal dan rumah dibakar yang dibesar-besarkan, tetapi juga gambar-gambar yang disebarkan melalui internet. "Gambar-gambar di internet adalah kejadian di tempat lain. Pendeta-pendeta Budha itu adalah kejadian di Tibet, bukan di Myanmar," kata delegasi Myanmar.