REPUBLIKA.CO.ID, LONDON - Kementerian Pertahnan Inggris mengatakan, satu tentaranya yang ditempatkan di garis depan Afghanistan melahirkan di pangkalan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), beberapa hari setelah markas itu diserang Taliban.
Wanita itu, yang melahirkan bayi laki-laki pada Selasa (18/9) di markas Bastion di provinsi Helmand, tidak tahu bahwa ia hamil, kata laporan media Inggris.
Dua Marinir Amerika Serikat tewas dan kerusakan bersejarah terjadi sesudah penyerang bersenjata senapan, roket dan rompi jibaku menyerbu markas itu, tempat urutan ketiga tahta Inggris Pangeran Harry juga berada- pada Jumat lalu.
Ibu itu dan bayinya dikatakan dalam keadaan tenang serta menunggu kelompok dokter spesialis dari rumah sakit di Oxford, Inggris tenggara, sebelum diterbangkan pulang.
Juru bicara Departemen Pertahanan (MoD) mengatakan, "Kami dapat memastikan bahwa pada 18 September, wanita tentara Inggris bertugas di Afghanistan melahirkan bayi laki-laki di rumahsakit lapangan markas Bastion.
"Ibu dan bayinya dalam keadaan sehat di rumah sakit itu dan mendapatkan perawatan terbaik," katanya. "Regu penjemputan anak spesialis disiapkan dan akan tiba dalam beberapa hari ke depan dalam rangka memberikan perawatan tepat bagi ibu dan bayinya pada penerbangan pulang," katanya.
Ia menyatakan MoD tidak mengetahui kehamilan wanita itu, dengan menambahkan, "Bukan kebijakan tentara mengizinkan perempuan ditugaskan pada gerakan jika hamil."
Menurut suratkabar Inggris Daily Mail, wanita itu, dilaporkan dari Fiji, mengetahui hamil ketika pergi ke petugas kesehatan mengeluh sakit perut parah dan diberitahu bahwa ia akan melahirkan.
Bayi itu lahir lima minggu lebih dini, kata suratkabar tersebut. Perang di Afghanistan sangat tidak disukai rakyat Barat pengirim pasukan ke Afghanistan. Jajak pendapat di Inggris, Prancis dan Jerman menunjukkan kian banyak warganya menuntut tentara mereka segera ditarik.
Dukungan bagi perang di Afghanistan turun tajam di kalangan warga Amerika Serikat dalam beberapa bulan belakangan saat mereka semakin kecewa dengan kemelut sejak lebih dari satu dasawrase lalu itu, kata jajak pendapat New York Times/CBS News, yang disiarkan pada akhir Maret.
Duapertiga dari yang ditanya -69 persen- menyatakan Amerika Serikat seharusnya tidak lagi berperang di Afghanistan, naik dari 53 persen pada November dan persentase tertinggi sejak jajak pendapat New York Times/CBS News mengajukan pertanyaan itu pada 2009, kata CBS.