Rabu 26 Sep 2012 15:14 WIB

Presiden: Jangan Minta Pakistan Perangi Teror

Presiden Pakistan Asif Ali Zardari
Foto: AFP
Presiden Pakistan Asif Ali Zardari

REPUBLIKA.CO.ID, PBB, NEW YORK - Presiden Pakistan Asif Ali Zardari mengatakan negaranya sudah cukup menderita dalam memerangi kelompok garis keras dan sebaiknya tidak diminta lagi untuk berbuat lebih banyak. "Tidak ada negara dan rakyat yang menderita dalam perjuangan melawan teroris, selain Pakistan," katanya sebelum sidang Majelis Umum PBB, Selasa (26/9) waktu setempat.

"Untuk mereka yang mengatakan bahwa kami belum berbuat banyak. Dengan kerendahan hati saya katakan untuk tidak mencela penderitaan kami dan luka kehidupan. Jangan minta rakyat saya sesuatu yang tidak pernah diminta kepada rakyat lain," katanya.

Zardari meminta untuk tidak menjelekkan wanita dan anak-anak Pakistan yang tidak bersalah. "Dan tolong hentikan paksaan ini untuk berbuat lebih banyak lagi," katanya.

Zardari memulai pidatonya di hadapan Majelis Umum PBB dengan mengecam Film Amerika dan kartun Prancis yang menghina Nabi Muhammad. Dia meminta materi tersebut dilarang beredar di seluruh dunia.

Kemudian, dia berbicara di samping foto almarhum istrinya, politikus Pakistan Benazir Bhutto, yang dibunuh kelomok garis keras. Dia mengatur pembelaan lewat riwayat rakyat Pakistan dalam perang kekerasan ekstremisme.

Zadari mengatakan serangan pesawat AS secara reguler terhadap target sasaran di negaranya membuat tugasnya untuk terus memerangi teror terhadap rakyatnya semakin sulit, seperti peningkatan ekspor obat-obatan Afghanistan sejak invasi AS.

"Banyak pertanyaan yang diajukan kepada Pakistan saat itu," katanya dengan nada meninggi seperti ingin menekankan maksudnya. "Saya di sini tidak untuk menjawab pertanyaan mengenai Pakistan. Rakyat Pakistan telah menjawab itu semua. Para politikus Pakistan telah menjawab itu semua. Tentara Pakistan telah menjawab itu semua," tuturnya.

Zardari mengatakan Pakistan telah kehilangan lebih dari 7000 tentara dan polisi serta lebih dari 37 ribu warga sipil. "Dan saya tidak perlu mengingatkan rekan-rekan saya bahwa saya menanggung luka pribadi," ungkapnya.

Pakistan telah lama dipandang sebagai tempat yang aman bagi banyak kelompok bersenjata, apakah Taliban bertempur di sepanjang perbatasan Afghanistan, atau kelompok garis keras dalam negeri maupun gerilyawan Kashmir yang bertekad untuk menguasai wilayah yang dikuasai India.

Kecurigaan mengenai pemerintah dan militer Pakistan telah menutup mata terhadap keberadaan beberapa kelompok bersenjata mencuat pada Mei 2011 ketika pasukan komando AS menyergap ke wilayah dalam Pakistan dan membunuh pemimpin Alqaidah Usamah bin Ladin.

Namun Zardari dengan tegas mempertahankan riwayat pemerintahannya yang menegaskan masalah Pakistan berasal dari dekade kekuasaan militer, ketika Pakistan dibiarkan untuk mengatasi masuknya pengungsi Afghanistan dan Negara Barat mengadili pemimpin diktatornya.

"Saya mengingat karpet merah yang disingkirkan untuk semua diktator. Diktator-diktator itu dan rezimnya bertanggung jawab untuk penderitaan Pakistan, institusi dan demokrasi Pakistan," katanya.

"Saya mengingat penahanan pemimpin terpilih Pakistan. Saya mengingat masa 12 tahun yang saya habiskan di penjara. Dan saya mengingat miliaran dolar disediakan oleh komunitas internasional untuk mendukung kediktatoran itu," katanya.

Dia mengatakan struktur sosial negara dan karakternyanya telah diubah karakternya telah diubah. Kondisi Pakistan saat ini adalah hasil dari pemerintahan diktator, katanya

Pemerintahan Zardari sering dituduh tidak berupaya banyak untuk melawan ekstremis bersenjata, oleh Barat sejak Osama bin Laden disergap di sebuah kota garnisun dekat ibukota (Islamabad). Washington telah menyerukan pengurangan bantuan akibat hal itu.

sumber : Antara/AFP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement