REPUBLIKA.CO.ID, SITTWE -- Tidak ada lagi warga Muslim di masjid-masjid di penjuru kota Sittwe, Myanmar. Tidak ada lagi pelajar Muslim di universitas dan sekolah-sekolah di ibukota negara bagian Arakan itu.
Penduduk dari etnis Muslim Rohingya menghilang dari pasar-pasar dan fasilitas-fasilitas publik lainnya. Ratusan ribu Rohingya terpaksa mengungsi ke luar negeri dan wilayah-wilayah perbatasan Myanmar.
Hanya sebagian kecil dari mereka yang bertahan di salah satu sudut kota Sittwe yang luput dari konflik dengan etnis Rakhine."Kami hidup seperti tawanan di sini," kata seorang etnis Rohingya yang tersisa di Sittwe, Thant Sin, seperti dikutip The National, Senin (1/10).
Sebelum konflik meletus Juni lalu, pria 47 tahun ini membuka lapak di pasar kota yang kini hanya boleh dimasuki oleh etnis Rakhine. Thant Sin kini tak punya pekerjaan yang bisa dilakukan. Ia juga takut untuk melarikan diri bersama Rohingya lain yang masih tersisa di desa Narzi di pinggiran kota Sittwe.
Polisi dan tentara diterjunkan untuk menjaga masjid dan kamp-kamp pengungsian Rohingya. Namun, mereka tidak dapat mengontrol segala hal.
Satu kelompok yang terdiri sekitar 300 tokoh Buddha, misalnya, menyebarkan pamflet berisi seruan kepada seluruh warga Rakhine agar tidak berinteraksi dengan Rohingya. Warga Rakhine dihasut untuk tidak berdagang bahkan berbicara dengan Rohingya. Mereka berdalih, ini ditujukan untuk menghindari konflik.