Rabu 03 Oct 2012 20:23 WIB

Militer Sudan Selatan, Dituduh Menyiksa, Memperkosa, dan Membunuh

sudan selatan
sudan selatan

REPUBLIKA.CO.ID, JUBA - Kelompok hak asasi manusia (HAM) Amnesty International mengungkapkan, pasukan keamanan Sudan Selatan diduga kuat telah melakukan penembakan, penyiksaan dan pemerkosaan terhadap rakyat sipil di bagian timur negeri itu, Rabu (3/10). Karena itu, mereka mendesak pemerintah setempat dan PBB agar berbuat lebih banyak untuk menghentikan pelecehaan tersebut.

Tentara (SPLA) tak menanggapi sejumlah telepon tapi sebelumnya telah meremehkan tuduhan bahwa prajuritnya telah menyerang warga sipil selama upaya perlucutan senjata di Negara Bagian Jonglei, dan mengatakan hanya ada "pelanggaran terpencil".

Tentara dan polisi telah berkeliaran di Jongle --tempat ladang minyak luas dan kebanyakan belum dieksplorasi-- untuk berusaha mengumpulkan senjata yang ditinggalkan dari beberapa dasawarsa perang saudara yang sekarang memicu bentrokan suku serta peningkatan aksi perlawanan.

Negara miskin itu, yang memproklamasikan kemerdekaan dari Sudan pada Juli 2011 berdasarkan kesepakatan perdamaian, masih berjuang mengatasi ketegangan suku dan politik di seluruhnya wilayahnya, yang luas.

Amnesty menyatakan organisasi tersebut memiliki bukti bahwa warga sipil --termasuk anak-anak yang berusia 18 bulan-- telah disiksa dan dilecehkan selama upaya perlucutan senjata, seperti dilaporlan Reuters.

Pasukan keamanan telah menjarah harta dan menghancurkan tanaman, kata kelompok hak asasi manusia itu. Ditambahkannya, Amnesty telah menerima laporan yang layak dipercaya mengenai perkosaan dan upaya perkosaan oleh personel SPLA.

"Jauh dari mewujudkan keamanan bagi wilayah tersebut, SPLA dan pasukan polisi tambahan telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia secara mengejutkan dan pemerintah tak berbuat banyak untuk menghentikan pelecehaan itu," kata Direktur Wilayah Afrika Amnesty International Audrey Gaughran, di dalam satu pernyataan.

Kelompok tersebut menyatakan misi PBB di negeri itu mesti berbuat lebih banyak untuk melindungi warga sipil dan "(menggelar) personel pemelihara perdamaian di daerah tempat ada potensi besar bagi pelanggaran oleh SPLA".

Gerilyawan yang dipimpin oleh mantan mahasiswa teologi David Yau Yau telah bentrok dengan militer di Jonglei dalam beberapa pekan belakangan, sehingga memaksa lembaga bantuan mengungsikan staf internasional dari daerah itu.

Yau Yau telah memerangi pemerintah sejak 2010, dengan menuduhnya korupsi. Satu pengumuman di stasiun radio gelombang pendek yang memiliki kaitan dengan kelompoknya belum lama ini mengatakan ia juga berjuang untuk membela warga sipil dari pelecehan yang dilakukan personel militer selama upaya perlucutan senjata.

Pada Ahad (30/9), SPLA mematahkan satu serangan oleh pasukan Yau Yau terhadap Kota Kecil Likuangole, sehingga menewaskan 31 gerilyawan, kata Komisaris Kabupaten Pibor Joshua Konyi kepada wartawan melalui telepon. Belum ada komentar dari pasukan Yau Yau.

Ketidak-amanan di Jonglei sudah memaksa organisasi bantuan medis Medecins Sans Frontieres (MSF) untuk menghentikan kegiatan di Kota Kecil Likuangole dan Gumuruk selama enam pekan belakangan.

sumber : Antara/Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement