Sabtu 06 Oct 2012 06:43 WIB

Raja Abdullah Bubarkan Parlemen Yordania

Rep: Devi A. Oktavika/ Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
Demosntrasi Rakyat Yordania
Foto: cnbc
Demosntrasi Rakyat Yordania

REPUBLIKA.CO.ID, AMMAN - Akibat tekanan politik dari kalangan oposisi, raja Yordania akhirnya membubarkan parlemen propemerintah, Kamis (4/10). Keputusan itu berdampak pada penyelenggaraan pemilihan umum lebih awal.

Meski belum ditentukan kapan waktu tepatnya, Raja Abdulah berulang kali menginginkan agar pemilu digelar akhir tahun ini atau selambat-lambatnya awal tahun depan. “Raja telah memutuskan untuk membubarkan majelis mulai Kamis ini dan menyerukan pemilu dini,” ujar pihak kerajaan dalam pernyataannya.

Namun, kebijakan tersebut tidak menyurutkan langkah oposisi yang digerakkan Ikhwanul Muslimin untuk berdemonstrasi menuntut reformasi politik, Jumat (5/10). Seperti dikutip Aljazirah, oposisi telah berkumpul di Ibu Kota Yordania, Amman, menyuarakan aspirasi mereka.

Salah satu yang diprotes oleh oposisi, yakni Undang-Undang Pemilu. UU Pemilu dinilai mempertahankan sebuah sistem yang mengesampingkan hak pilih warga Yordania yang berasal dari Palestina.

Padahal, dukungan mereka sangat diandalkan oleh kelompok Islam. Mereka juga menyerukan reformasi sistem parlementer. Dalam sistem baru itu, perdana menteri harus dipilih dan bukan ditunjuk oleh raja.

Persetujuan UU ini telah membuat marah Ikhwanul Muslimin yang mengatakan akan melakukan boikot seperti pada Pemilu 2010. Bulan lalu, dalam sebuah wawancara dengan AFP, Raja Abdullah mengatakan, keputusan para oposisi untuk memboikot pemilu salah perhitungan.

“Sebagai monarki konstitusional, mandat saya adalah untuk menjadi payung bagi semua kelompok politik dan semua segmen masyarakat. Dan, sebagai bagian dari masyarakat itu, saya menyampaikan pada Ikhwanul Muslimin bahwa mereka sedang membuat kesalahan perhitungan yang luar biasa,” ujar Raja Abdullah.

Raja Abdullah telah memerintahkan parlemen untuk meningkatkan jatah kursi bagi calon dari partai. Tuntutan itu pun terpenuhi. Parlemen akhirnya menambah jumlah kursi dari 17 menjadi 27. Tetapi, keputusan ini tetap gagal memenuhi tuntutan oposisi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement