REPUBLIKA.CO.ID, MANAMA -- Sebagai umat mayoritas, Muslim Bahrain tetap menjaga dan menghormati keberagaman di masyarakat. Meskipun demikian tiap orang memiliki cara dan upaya berbeda. Deena misalnya, dosen perguruan tinggi di Manama ini tidak melarang mahasiswanya untuk menggunakan simbol-simbol agama.
"Kampus ini merupakan yang terbesar di Bahrain. Terdapat mahasiswa dari 40 negara dengan latar belakang sosial, bahasa, dan agama yang berbeda," kata dia seperti dikutip gulfnews.com, Senin (8/10).
Di dalam kelas, ia memilih untuk berhati-hati berbicara soal agama. Ia tidak menginginkan perbedaan yang ada dimunculkan lalu datang suatu kesimpulan bahwa ada satu agama yang buruk dan ada agama yang lebih baik. "Kami tidak seperti negara Barat yang melarang simbol-simbol agama di sekolah-sekolah dan di tempat lain, "katanya.
Bagi Adel Jasem, keberagaman itu seharusnya tidak menjadi masalah. "Agama resmi negara ini adalah Islam. Namun, pemeluk agama lain diperbolehkan menjalankan keyakinannya tanpa hambatan," kata dia.
Menurutnya, itu semua akan menjadi masalah ketika ada pihak yang terlalu berlebihan menaruh simbol agama tanpa peka terhadap lingkungan sekitarnya. "Hal itu adalah bentuk provokasi. Kita sebagai umat beragama harus bertanggung jawab dan tidak berusaha untuk memaksakan pandangan kita kepada orang lain," kata dia.
Terpisah, Lisa begitu menikmati pekerjaannya sebagai pelayan sebuah restoran Turki. Ia seorang non-Muslim, namun ia merasa nyaman dengan lingkungan di sekitarnya.
Ia tak ragu untuk mengenakan liontin salib menggantung di lehernya. "Saya dibesarkan dalam keluarga religius di Filipina. Mengenakan simbol agama merupakan bagian dari tradisi keluarga," katanya.
Ia sempat khawatir karena simbol yang ia gunakan tersebut bakal membuatnya dipecat dari pekerjaan. Beruntung, pemilik restoran tempat ia bekerja tidak mempermasalahkan itu. "Awalnya, saya khawatir, apakah saya bisa menjadi diri sendiri dan tidak harus menyembunyikan identitas saya," kenangnya.