Jumat 12 Oct 2012 12:00 WIB

Terry Jones Dilarang Masuki Kanada

Terry Jones.
Foto: nydailynews.com
Terry Jones.

REPUBLIKA.CO.ID, TORONTO -- Pastur yang terkenal karena membakar Kitab Suci Alquran dan menghasut kerusuhan di Timur Tengah, Kamis (11/10), dilarang memasuki Kanada. Di negara itu, ia dijadwalkan menghadiri debat penting dengan seorang imam, demikian laporan media Kanada.

Terry Jones ditahan di perbatasan AS-Kanada di Windsor, Ontario, akibat pelanggaran hukum sebelumnya di Amerika Serikat. Selain itu, menurut Canadian Bradcasting Corp, dia ditahan, juga karena pemerintah Jerman telah mengeluarkan keluhan terhadap dia.

Jones memberitahu CBC bahwa ia akan mencari saran hukum mengenai apakah akan mengajukan banding terhadap perlakuan itu. Dia mengatakan, perlakuan itu disebutnya sebagai 'tindakan menyedihkan' terhadap kebebasan berbicara.

"Kami akan kembali ke Florida sekarang dan kami akan memeriksa apakah kami akan mengajukan banding untuk itu," kata Jones sebagaimana dikutip Reuters, Jumat (12/10).

Pemerintah Kanada menyatakan takkan mengomentari kasus perorangan dan para pejabat perbatasan yang memutuskan izin masuk bagi setiap orang dengan dasar kasus per kasus. "Setiap orang yang berusaha memasuki Kanada harus menunjukkan mereka memenuhi persyaratan untuk memasuki negeri ini," kata Julie Carmichael, Juru Bicara Kantor Keselamatan Masyarakat Vic Toews.

Menurut penyelenggara setempat, Jones mulanya dijadwalkan menghadiri debat dengan seorang imam di Toronto, pemimpin Sikh dan penulis muslim pada Kamis malam waktu setempat di kompleks Dewan Legislatif Provinsi Ontario di Toronto.

Pastur yang sebelumnya tidak dikenal itu memicu kerusuhan di Afghanistan dua tahun lalu, saat ia membakar mushaf Al quran untuk memperingati serangan 11 September 2001 di World Trade Center di New York.

Ia juga mempromosikan film "Innocence of Muslims" tahun ini, yang bagi umat muslim dinilai sebagai menghujat Nabi Muhammad SAW. Film tersebut mengundang protes di seluruh Timur Tengah dan wilayah lain.

sumber : Antara/Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement