REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Kementerian Pembangunan dan Perumahan Israel, Senin (22/10), memasarkan 5 ribu rumah baru di seluruh negeri itu, hampir 700 di antaranya berada di daerah sengketa di luar perbatasan 1967, demikian laporan media setempat.
Pengumuman tersebut dikeluarkan cuma beberapa hari setelah Uni Eropa mencela Israel karena medirikan bangunan di permukiman Gilo, Jerusalem.
Menurut pengumumkan itu, 607 rumah akan dipasarkan di Pisgat Ze'ev, permukiman di bagian timur-laut Jerusalem di seberang garis 1967, dan 92 unit akan dipasarkan di permukiman Ma'ale Adumim, sebelah timur Jerusalem.
"Kami bertujuan mempertahankan sasaran pemerintah untuk meningkatkan pasokan lahan buat rumah. Kami juga memasarkan di Jerusalem, yang merupakan 'ibu kota Israel'. Ada pertumbuhan penduduk dan tuntutan tinggi dan kami tak bisa menghentikan pembangunan di sana," Menteri Perumahan Israel Ariel Atias.
Israel menganggap seluruh kota Jerusalem sebagai "ibu kotanya yang abadi", sementara rakyat Palestina ingin Jerusalem Timur --yang diduduki Israel sejak 1967-- sebagai ibu kota negara masa depan mereka.
Kementerian Israel tersebut menyatakan rumah yang dimaksud didirikan di daerah "dengan tuntutan tinggi", demikian laporan Xinhua. Lahan buat 806 rumah akan dipasarkan dalam jumlah kelompok; 1.170 rumah di Jerusalem, 1.174 di bagian utara dan 387 rumah di Haifa.
Kementerian itu menambahkan lahan tersebut akan dipasarkan dengan harga minimum, sebanyak 25 sampai 35 persen harga evalualisnya, guna menurunkan harga tanah.
Pekan lalu, Uni Eropa mengecam pemerintah Israel karena memberi lampu hijau bagi rencana untuk membangun 797 rumah di Gilo, yang berada di Jerusalem tenggara di lahan yang direbut Israel dalam Perang 1967.
"Permukiman tidak sah berdasarkan hukum internasional dan mengancam akan membuat penyelesaian dua negara jadi tidak mungkin," kata Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Catherine Ashton di dalam satu pernyataan yang dikeluarkan pada Jumat (19/10).