Rabu 24 Oct 2012 01:31 WIB

Penggunaan Drone di Afghanistan Menuai Kritik

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Dewi Mardiani
Pesawat tanpa awak
Pesawat tanpa awak

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Pesawat tanpa awak atau drone merupakan fasilitas tempur yang banyak menuai kontroversi. Serangan drone yang dilakukan oleh Dinas Intelijen Luar Negeri Amerika Serikat (AS), di Pakistan bahkan menuai kritik dari kalangan akademisi dan pegiat hak asasi manusia di dalam negeri sendiri.

Banyak aktivis mengatakan, serangan drone tidak aman, lantaran warga sipil yang kerap menjadi sasaran. Namun dari kepentingan militer, drone dikatakan membantu setiap serangan yang dapat meminimalkan jumlah korban tentara sekutu.

"Tidak ada keputusan jangka panjang untuk menggunakan drone sebagai kemampuan inti," kata juru bicara dari Kementerian Pertahanan Inggris yang tak mau disebutkan namanya, Selasa (23/10).

Hanya, tandas dia, kebutuhan akan drone adalah bagian dari kebutuhan yang mendesak untuk suatu operasi (UOR). Kementerian Pertahanan Inggris menunjukkan aktivitas drone milik Angkatan Udara Inggris (RAF) sudah terbang selama lebih dari 39.628 jam, dan telah meluncurkan sebanyak 334 rudal pandu untuk peperangan di Afganistan. Kementerian mengatakan hingga sekarang hanya empat warga sipil yang dikabarkan menjadi korban keganasan drone.

Pernyataan tersebut disangkal Hather Barr. Dia seorang advokat hak asasi manusia dari Human Right Watch (HRW). Kata dia, data tersebut tidak mendasar. Menurutnya, penggunaan drone adalah untuk daerah-daerah yang terisolir, tewasnya beberapa sipil tentu menjadi pertanyaan.

"Hal ini tidak mungkin mendorong mereka untuk berjalan beberapa hari untuk berbicara dengan seseorang yang tidak mungkin berbuat apa-apa," kata dia. Desember 2010, David Cameron menyatakan sebanyak 124 gerilyawan tewas dalam serangan pesawat tak berawak Inggris. Namun para pejabat pertahanan menolak angka tersebut.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement