REPUBLIKA.CO.ID, MYANMAR - Ribuan pengungsi melonjak menempati kamp-kamp yang penuh sesak di bagian barat Myanmar, Sabtu (27/10). Pengungsi memadati kamp akibat kekerasan komunal yang menewaskan puluhan jiwa.
"Korban tewas 67 jiwa, separuhnya merupakan wanita," ujar juru bicara pemerintah setempat seperti dikutip dari Al-Arabiya. Kebencian memuncak antara Buddha dan Muslim yang meletus pada pekan ini. Kerusuhan tak bisa terelakkan di Rakhine. Puluhan ribu muslim Rohingya memadati kamp-kamp kumuh di sekita Sittwe.
"Sebanyak 2500 pasukan tambahan sedang dalam perjalanan," kata Vivian Tan, Juru Bicara Badan Pengungsi PBB. Sementara itu Win Myaing, Juru Bicara Pemerintah Rakhine mengatakan, sekitar 3000 etnis Rohingya melarikan diri dengan menggunakan kapal.
Mereka kemudian merapat di pulau dekat Sittwe. "Saat ini para pengungsi masih di pulau," ujar Win Myaing dikutip dari AFP, Sabtu (27/10). Para tentara sudah mengambil alih daerah yang potensial menyebabkan kerusuhan.
Situasi saat ini sudah mulai kondusif setelah pasukan dikerahkan ke daerah kekerasan meletus. Presiden Thein Sein memang dipuji karena berhasil mengawasi reformasi. Termasuk dibebaskannya tahanan politik Aung San Suu Kyi.
Namun pertempuran yang terjad di Rakhine menimbulkan ancaman bagi reformasi. "Serangan main hakim sendiri harus dihentikan," ujar Juru Bicara Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-Moon di Yangon.
Sebanyak 800 ribu etnis Rohingya Myanmar dipandang sebagai imigran ilegal oleh pemerintah Burma. Mereka dipanggil dengan sebutan 'Bengali'. Rohingya yang tanpa negara, dan berbicara dengan dialek Bengali mirip dengan penduduk di Bangladesh dianggap PBB sebagai minoritas yang paling dianiaya di planet ini.