REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Sebuah pesawat tempur militer Suriah meratakan bangunan tiga lantai, kelompok oposisi meledakkan bom mobil mematikan, kedua pihak pun bertransaksi senjata di beberapa titik di dalam negeri. Seluruh insiden tersebut terjadi Sabtu (27/10), sehari usai diterapkannya genjatan senjata.
Genjatan senjata yang diusulkan duta PBB untuk Suriah, Lakhdar Brahimi menunjukkan kegagalan. Genjatan yang seharusnya dihelat empat hari sejak Idul Adha tersebut rombak di hari kedua.
Brahimi dianggap gagal mendapat komitmen baik dari pihak rezim Suriah maupun oposisi untuk memberikan komitmen genjatan senjata. Aktivis oposisi mengatakan, genjatan senjata nampak berjalan di jam-jam pertama waktu genjatan di hari Jumat (26/10).
Namun, menjelang pergantian hari, menurutnya, 151 orang tewas akibat bom dan tembakan. Jumlah tersebut memang menjadi rata-rata korban harian di Suriah. Artinya, genjatan senjata tak berfungsi sama sekali. "Genjatan senjata yang didukung PBB compang-camping pada hari kedua," ujarnya.
Pada Sabtu, serangan udara militer Assad mengakhiri genjatan senjata tersebut. Sebuah bangunan tiga lantai di pinggiran Arbeen, Damaskus, menjadi puing akibat serangan. Menurut Observatorium HAM, delapan orang tewas dalam serangan tersebut.
Kemudian di timur Kota Deir El-Zour, oposisi membalas serangan dengan meledakkasn sebuah bom mobil di dekat kamp polisi militer. Tembakan juga diarahkan ke arah kamp tersebut. Observatorium HAM mencatat delapan orang tewas dan terjadi kerusakan berat.
Namun, menurut media Suriah, tak ada korban dalam serangan tersebut. Pertempuran masih dilanjutkan dengan serangan ke arah oposisi oleh angkatan udara militer. Keduanya berebut menguasai jalan utama penghubung antara ibu kota Damaskus dan kota terbesar Suriah, Aleppo.
Pertempuran tersebut menyusul direbutnya Kota Maaret Al-Numan oleh pihak oposisi pada awal Bulan Oktober. Akibatnya, pangkalan militer di dekat kota tersebut tak dapat memasok senjata ke militer di Aleppo.
Pada Sabtu malam, aktivis mengatakan, 76 orang tewas termasuk 20 diantaranya merupakan tentara militer. Menurut Observatorium HAM, militer rezim menempatkan penempak jitu di beberapa lokasi pertempuran. Sementara pihak pemerintah mengeklaim para gerilyawan oposisi menyerang sejumlah pos militer.
Pakar Militer, Joe Holliday mengatakan, baik rezim maupun oposisi tak memiliki minat untuk menghentikan pertempuran. Apalagi mengingat rute pasokan militer rezim ke Aleppo dan Idlib terganggu akibat oposisi menguasai Kota Maaret Al-Numan.