REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gejolak reformasi di Timur Tengah tak banyak mengakibatkan pengaruh negatif bagi Indonesia. Perekonomian negara justru meningkat seiring peningkatan perdagangan dengan negara-negara Timur Tengah pasca pergolakan politik atau yang seringkali disebut dengan Arab Spring itu.
Plh Direktur Timur Tengah Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Ratu Silvy Gayatri, mengatakan, Indonesia banyak mendapat keuntungan ekonomi akibat Arab Spring. Bahkan pasar baru terbentuk di negara-negara yang pulih dari gejolak.
"Arab Spring bukannya membuat perdagangan kita turun, melainkan justru naik. Di Mesir perdagangan kita naik. Di Tunisia perdagangan 2012 kita surplus. Dampak ekonomi karena kita membantu demokrasi. Kita punya pasar baru di sana karena kita punya aset politik disana," ujarnya saat seminar Dinamika Politik Timur Tengah di Gedung Widya Graha LIPI, Selasa (30/10).
Data dari Kemenlu menyebutkan, hubungan bilateral antara Indonesia dengan negara-negara Timur Tengah yang bergolak meningkat, terutama di sektor ekonomi.
Pasca revolusi Tunisia, nilai perdagangan Indonesia-Tunisia tahun 2011 surplus sebesar USD 88,7 juta atau sekitar Rp 887 miliar. Total pedagangan Indonesia-Tunisia tahun 2011 mencapai USD 106,7 juta atau sekitar Rp 1,06 triliun.
Adapun di Mesir, tren total perdagangan dengan Indonesia mengalami kenaikan rata-rata 20,79 persen selama lima tahun terakhir. Angka tersebut termasuk saat revolusi Mesir pecah tahun 2011 lalu.
Ratu menuturkan, usai Arab spring negara Timur Tengah memerlukan pembangunan mengingat rusaknya kondisi negara akibat pergolakan yang bahkan beberapa diantaranya terjadi pertumpahan darah. "Mereka kan melakukan pembangunan. Kita menawarkan. Perusahaan kita sudah banyak di sana," kata Ratu.