REPUBLIKA.CO.ID, SENDAI -- Hasil audit laporan keuangan Jepang mengungkapkan miliaran dolar AS bantuan yang mengalir untuk merekonstruksi Jepang pascatsunami tahun lalu telah disalahgunakan. Seperempat dari proyek yang dibiayai dari uang bantuan tersebut merupakan proyek yang tak ada hubungannya dengan pembangunan kembali wilayah yang terkena tsunami.
Jumlah proyek yang tidak jelas itu mencapai 148 miliar dolar AS. Daftar hal-hal yang didanai dari anggaran rekonstruksi Jepang pascatsunami tidak jelas dan aneh.
Misalnya ditujukan untuk pembangunan gedung-gedung tinggi, subsidi untuk pabrik lensa kontak, pelatihan pilot pesawat tempur, produksi mineral tanah jarang, renovasi kantor pemerintah di Tokyo, pembangunan jalan di Okinawa, hingga dukungan untuk program perburuan paus yang masih kontroversial di Jepang.
Perdana Menteri Jepang, Yoshihiko Noda, sedang berjuang keras menjelaskan detail penggunaan dana rekonstruksi tersebut. "Memang benar bahwa pemerintah belum cukup memadai menyalurkan bantuan itu ke masyarakat korban. Namun demikian, rekonstruksi tetap menjadi prioritas utama kami," kata Noda dalam sebuah pidato parlemen, seperti dikutip dari The Guardian, Kamis (1/11).
Noda bersumpah proyek-proyek tak terkait di atas sesungguhnya diperas dari anggaran dasar pemerintah. Namun, pemerintah Jepang memang berniat untuk melakukan perubahan eksplisit dalam undang-undang rekonstruksi Jepang.
Perubahan itu adalah memberikan kewenangan pengeluaran dana konstruksi untuk keperluan lain yang mendukung langkah kerja pembangunan pemerintah, misalnya pembangunan eco-town atau kota berwawasan lingkungan.
Di wilayah sekitar pabrik nuklir Fukushima Dai-Ichi yang hancur karena tsunami tahun lalu, setidaknya ada 325 ribu dari 340 ribu pengungsi yang masih tinggal di tempat penampungan sementara. Mereka belum mendapat kepastian kapan mereka memunyai tempat tinggal tetap.
Di Rikuzentakata, ada 1.800 orang yang tewas dan hilang. Pelabuhan dan dermaga di wilayah ini hancur dan masih belum dilakukan pembangunan kembali. Sebanyak 3.800 rumah dari 9.000 rumah di Rikuzentakata hancur dan sebagian besar pemiliknya masih berada di pengungsian.
"Saat ini sudah berjalan 19 bulan setelah bencana itu. Namun, tak ada perubahan besar yang memperbaiki daerah kami. Satu bangunan pun belum dibangun," kata Wakil Walikota Rikuzentaka, Takashi Kubota.
Profesor politik dari St Andrews University di Osaka, Jepang, Masahiro Matsumura, membenarkan penyalahgunaan dana tersebut. "Ini merupakan wujud dari ketidakpedulian pemerintah untuk rehabilitasi. Mereka (pemerintah) sangat pintar mencari alasan," katanya.