REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Hak Asasi Manusia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendesak Myanmar untuk menghentikan kekerasan sekte di Rakhine, Rabu (31/10). PBB meminta pemerintah Myanmar agar tidak menggunakan konflik sebagai alasan mengeluarkan minoritas muslim Rohingya dari negara mereka.
Pelapor Khusus HAM PBB di Myanmar, Tomas Ojea Quintana, mengatakan PBB menyerukan keprihatinan atas sikap pemerintah Myanmar yang menganggap Rohingya sebagai imigran ilegal dan tanpa kewarganegaraan. Konflik yang terjadi pun bukanlah kesempatan untuk menghapus permanen sebuah komunitas yang tidak diinginkan.
"Jika negara ini ingin sukses dalam proses transisi demokrasi, maka harus berani mengatasi tantangan hak asasi manusia yang terjadi," ujarnya.
Kasus di Rakhine, menurut Quintana, berasal dari sikap diskriminasi terhadap Muslim Rohingya. Diskriminasi yang berlangsung lama tersebut menjadi penyakit baik bagi pemerintah lokal maupun nasional bahkan masyarakat secara umum. Jika penyakit tersebut tak diatasi, maka kerusuhan akan terus terjadi.
Ahli independen PBB tentang isu minoritas, Rita Izsak, menuturkan Rohingya harus dilindungi sesuai dengan standar hak internasional untuk kaum minoritas. Akses dan layanan yang sama harus diberikan pada Muslim Rohingya. "Pemerintah harus mengambil langkah untuk meninjau hukum dan prosedur yang relevan dalam menyediakan akses kewarganegaraan yang sama kepada komunitas Rohingya. Usung dialog dan rekonsiliasi antar komunitas," ujarnya.
Dilaporkan 89 orang tewas dalam kerusuhan di Myanmar Barat sepuluh hari terakhir. Para etnis Rohingya mengatakan, rumah mereka dibakar oleh warga Rakhine. PBB mengatakan, lebih dari 97 persen dari 28.108 pengungsi akibat kerusuhan tersebut merupakan muslim Rohingya. Mereka pun tak memiliki kewarganegaraan. Saat ini mereka bergabung dengan 75 ribu pengungsi Rohingya lain di kamp pengungsian.
Badan pengungsi PBB, UNHCR mengatakan, terdapat 6 ribu orang terdampar entah di perahu atau pulau di sepanjang pantai barat Myanmar. UNHCR pun meminta pihak berwenang dapat menegakkan hukum untuk mencegah pertumpahan darah kembali terjadi. "Kami meminta negara-negara tetangga, seperti Bangladesh untuk membuka perbatasan dan menerima mereka. Ini sangat penting untuk memberikan akses perlindungan terhadap mereka," ujar juru bicara UNHCR, Adrian Edwards, seperti dilansir BBC dan Aljazirah.