Jumat 02 Nov 2012 09:39 WIB

Perusahaan Farmasi Inggris Tolak Korting Harga

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Hafidz Muftisany
Obat-obatan (ilustrasi).
Foto: http://unitednews.com.pk
Obat-obatan (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Manajemen perusahaan farmasi raksasa asal Inggris, Glaxo Smith Kline, memprotes kebijakan pemerintah Uni Eropa yang terus menerus melakukan pemotongan harga obat sebagai bagian dari program penghematan.

Harga obat di seluruh wilayah Eropa rata-rata turun 7 - 8 persen di bawah harga normal selama krisis ekonomi berlangsung.

"Kami lebih memilih menyasar pasar di Asia dan Amerika Serikat (AS) dan meninggalkan pasar Inggris jika pemerintah Eropa terus memaksakan pemotongan harga obat," kata Presiden Direktur Glaxo Smith Kline, Sir Andrew Witty, dikutip dari the Guardian, Jumat (2/11).

Witty meminta pemerintah untuk mengevaluasi kembali pemotongan tajam yang telah berlaku cukup lama itu. Penurunan harga itu bahkan dua kali lebih besar dari yang diasumsikan perusahaan diawal tahun.

Penjualan obat di Eropa menurun tajam mencapai sembilan persen hingga kuartal III 2012. Secara keseluruhan, penurunan penjualan itu mencapai 6,5 miliar poundsterling. Witty berharap perusahaan-perusahaan obat di Eropa kembali kepada pertumbuhan berkelanjutan.

Pemerintah, kata Witty, terus menurunkan harga dan menunda produksi obat jenis baru. Padahal, Glaxo mempekerjakan 15 ribu orang tenaga pabrik dan tenaga laboratorium penelitian.

Analis Edison Investment Research, Mick Cooper, menilai langkah-langkah penghematan di Eropa memberi dampak signifikan terhadap pertumbuhan Glaxo.

"Untungnya, perusahaan memiliki pipeline akhir yang masih kuat," katanya. Glaxo pada akhir tahun ini berencana memperkenalkan pengobatan baru untuk HIV, diabetes tipe II, dan penyakit paru obstruktif kronis (bronkitis kronis, dan emfisema).

Asosiasi Industri Farmasi Eropa mendata disaat harga obat-obatan di Eropa menurun, maka ada spekulan yang memanafaatkan kondisi tersebut. Spekulan membeli obat di Eropa dengan harga murah kemudian menjualnya kembali dengan harga yang lebih tinggi di tempat lain. Asosiasi mengharapkan 2014 mendatang akan ada rezim baru yang mampu memahami pelaku industri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement