Selasa 06 Nov 2012 07:43 WIB

Sistem Politik AS, Tunggal, tapi Bercabang-Dua

  Presiden AS Barack Obama bersama kandidat presiden dari partai Republik Mitt Romney usai debat capres di Lynn University, Selasa (23/10).
Foto: Pablo Martinez Monsivais/AP
Presiden AS Barack Obama bersama kandidat presiden dari partai Republik Mitt Romney usai debat capres di Lynn University, Selasa (23/10).

REPUBLIKA.CO.ID, Seorang pengamat politik Amerika Serikat (AS) mengatakan negaranya sedang ditarik ke dalam sistem politik tunggal yang bercabang-dua. Sangat berbeda dari klaim yang ada di mana AS memiliki sistem tradisional dua partai.

"Meski kelihatannya ada pertempuran antara Partai Demokrat dan Republik di Amerika Serikat, tapi kedua partai itu sebenarnya merupakan satu partai bercabang dua karena keduanya mewakili kepentingan utama negara," kata Mike Harris, pengamat politik dan direktur pengelola Adamus Group, Phoenix dalam sebuah wawancara dengan Press TV, Senin (5/11).

Menurut Harris, meskipun ada dua kandidat dalam pemilihan presiden AS bagi masyarakat untuk memilih salah satu di antaranya, Electoral College memainkan peran yang lebih berpengaruh.

"Kami memiliki hambatan bernama Electoral College saat kami mendirikan negara untuk melindungi negara-negara yang populasinya rendah. Tapi saat ini, negara-negara itu telah mengalami perkembangan populasi dan Electoral College benar-benar telah kehilangan manfaatnya dan tujuan aslinya, " ujarnya lagi.

Kemudian, dalam pemilu, calon presiden harus mendapatkan setidaknya 270 suara dari 538 jumlah suara (50% +1) agar bisa menjadi presiden. Electoral College mengatakan sistem itu tidak demokratis dan presiden harus ditentukan oleh masyarakat populer yang menilainya daripada suara elektoral.

Harris juga menunjuk kekuatan uang sebagai masalah lain yang mengancam proses pemilu. Menurut pengamat itu, sering kali kandidat pemenang adalah kandidat yang paling banyak memiliki dana.

"Jika Anda perhatikan, maka sepuluh besar perusahaan yang menjadi pemasok dana kedua belah pihak adalah sama," lanjutnya. "Itulah sebabnya kenapa negara ini macet, kenapa tidak ada perubahan. Karena perusahaan-perusahaan itu ingin melindungi status quonya," tutupnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement