Jumat 09 Nov 2012 11:15 WIB

Suksesi Cina, Berharap Reformasi dari 'Satria Piningit' (1)

Rep: Siwi Tri Puji/ Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
Elite Partai Komunis Cina menggelar kongres yang dibuka pada Kamis (8/11/2012) oleh Presiden Hu Jiantao
Foto: AP
Elite Partai Komunis Cina menggelar kongres yang dibuka pada Kamis (8/11/2012) oleh Presiden Hu Jiantao

REPUBLIKA.CO.ID, Partai Komunis Cina bak kisah dongeng yang terlalu rumit untuk diceritakan. Bukan rahasia lagi, selain profesionalitas, ada juga koneksi dan "keturunan siapa" yang turut menentukan di posisi mana seseorang akan duduk. Dalam kaitan ini, Xi Jinping disebut-sebut jelas di atas angin.

Sejak tahun 2008, Xi telah menjadi orang nomor dua dalam partai terbesar dan paling berpengaruh di Cina. Bagi Cina yang menganut sistem satu partai, pelantikan Xi sebagai ketua Partai Komunis secara otomatis menempatkannya dalam posisi tertinggi di negara dengan penduduk terbanyak di dunia.

Meskipun secara formal, pengambilan sumpah presiden baru akan dilangsungkan pada Maret 2013 mendatang. Jika lempang melenggang tak ada sandungan apapun, dia akan menjadi pemimpin Cina ke enam setelah Mao Zhedong.

Pria 59 tahun ini dipandang sebagai "pangeran" - istilah yang digunakan untuk para pejabat senior yang keluarganya merupakan tokoh Partai Komunis - dalam jajaran petinggi Partai saat ini. Ia juga salah satu wakil ketua Komisi Militer Pusat partai, yang mengontrol tentara.

Lahir di Beijing tahun 1953, Xi adalah putra dari veteran revolusi Xi Zhongxun, salah satu pendiri Partai Komunis. Xi Zhongxun disingkirkan dari jabatan wakil perdana menteri pada tahun 1962 sebelum Revolusi Kebudayaan dan akhirnya dipenjara. Xi Jinping muda kemudian dikirim untuk bekerja di pedesaan seperti kebanyakan "pemuda intelektual" lain waktu itu.

Dia melanjutkan untuk belajar teknik kimia di Universitas Tsinghua di Beijing, yang telah menghasilkan banyak pemimpin saat ini, termasuk Hu Jintao.

Sebagai pengganti Presiden Hu, Xi dihadapkan pada beragam isu yang harus ditanganinya, mulai dari persoalan Suriah, Iran maupun Korea Utara hingga sengketa pulau di Laut China Selatan dengan Jepang, Vietnam, Filipina, dan lainnya. Banyak yang menitip harap padanya, tak terkecuali pemimpin Tibet di pengasingan, Dalai Lama.

Ia menyatakan, reformasi ekonomi pada kepemimpinan sebelumnya di Cina telah berhasil dengan gemilang. Langkah selanjutnya, katanya, adalah reformasi politik. Soal Tibet, misalnya, dia berkomentar singkat, “Kami hanya ingin otonomi yang diperluas.”

Alih-alih melakukan gebrakan, sejumlah analis memprediksi  Xi tidak akan melakukan terlalu banyak perubahan pada kebijakan-kebijakan yang sudah digariskan. Terutama, dalam bidang ekonomi, dimana dia turut andil mengarahkan langkah.

Di Meksiko pada tahun 2009, ia pernah mengecam kekhawatiran segelintir pemimpin negara atas kekuatan ekonomi Cina. "Beberapa orang asing dengan perut gendut menunjuk-nunjukkan jarinya pada kami," katanya. "Saya tegaskan, pertama, China tidak mengekspor revolusi, kedua, tidak mengekspor kelaparan dan kemiskinan, dan ketiga, tidak main-main dengan Anda."

Soal Tibet, ia tak akan bergeser jauh dari kebijakan pendahulunya. Ia bersumpah untuk "menghancurkan" setiap upaya untuk mengguncang Tibet.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement